JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan Ikhwan Mansyur Situmeang yang berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait uji materiil Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Demikian Putusan Nomor 7/PUU-XX/2022 dibacakan dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (24/2/2022) secara daring. Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu yang dinilai membatasi jumlah calon presiden yang maju dalam Pemilu 2024 dan bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah terlebih dulu mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon. Menurut Mahkamah, kedudukan perseorangan warga negara dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden in casu Pasal 222 UU 7/2017 dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUUXIX/2021 bertanggal 24 Februari 2022.
Wahiduddin menyebutkan berdasarkan pertimbangan putusan tersebut, berkenaan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih sehingga merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal a quo karena membatasi hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan calon alternatif Presiden dan Wakil Presiden, menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah beralasan. Hal tersebut karena Pemohon telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 akan digunakan juga sebagai bagian dari persyaratan ambang batas pencalonan Presiden pada tahun 2024 yang hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu—sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon.
Selain itu, Mahkamah berpendapat persoalan jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak berkorelasi dengan norma Pasal 222 UU 7/2017 karena norma a quo tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
“Dengan demikian, selain Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat norma a quo dengan hak konstitusional Pemohon sebagai pemilih dalam pemilu,” ucap Wahiduddin.
Baca juga: Aturan Presidential Threshold Dinilai Batasi Jumlah Calon Presiden
Adapun berkenaan dengan uraian argumentasi Pemohon terkait adanya anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon sebagai ASN in casu PNS Sekretariat Jenderal DPD RI yang menurut Pemohon secara spesifik atau aktual atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya Pasal 222 UU 7/2017. Mahkamah tidak dapat meyakini Pemohon secara aktual maupun potensial mengalami kerugian konstitusional karena berlakunya pasal a quo. Terlebih lagi, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan alat bukti lain terkait dengan dukungan atau dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden dari partai politik atau gabungan partai politik serta tidak terdapat bukti yang berkenaan dengan syarat pencalonan.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon, seandainya Pemohon didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden maka semestinya Pemohon menunjukkan bukti dukungan itu kepada Mahkamah,” tandas Wahiduddin.
Baca juga: ASN Uji UU Pemilu Pertegas Permohonan
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menyebutkan Pasal 222 UU Pemilu tidak memiliki konsistensi dengan Pasal 6A UUD 1945 karena dalam Pasal 6A UUD 1945 tidak disebutkan nominal persen ambang batas pencalonan presiden. Dalam Pasal 222 memberlakukan presidential threshold sebagai ambang batas yang justru membatasi jumlah calon presiden. Sehingga struktur Pasal 222 tidak memiliki kekonsistensian dengan Pasal 6A UUD 1945.
Dalam permohonannya, Pemohon juga mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu justru berdampak pada tiadanya kesempatan masyarakat untuk menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan dari partai politik peserta pemilu nantinya. Menurut Pemohon pula, ketentuan ambang batas tersebut dapat mempengaruhi masa depan demokrasi dan membiarkan ketentuan tersebut berarti membiarkan diri tercengkeram politik oligarki. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis : LA
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina