JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan oleh Lieus Sungkharisma tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan tidak dapat diterima,” tegas Ketua Pleno Anwar Usman dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 5/PUU-XX/2022 yang digelar MK pada Kamis (24/2/2022).
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat terkait dengan argumentasi Pemohon yang menyatakan partai politik hanyalah kendaraan bagi para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara termasuk Pemohon, hal tersebut adalah bukan persoalan yang mendasar dalam permohonan a quo.
“Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat”, yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan,”jelas Arief.
Baca juga: Lagi, Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden Diuji
Lebih lanjut Arief menjelaskan, perwujudan kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan melalui Pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung. Selanjutnya, sistem pemilu bangsa Indonesia merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurutnya, pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya dapat menggunakan hak pilihnya satu kali dan mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara (one person, one vote, one value). Sementara, yang dimaksud dengan peserta pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, sambung Arief, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh Pemohon tidak berkaitan dengan isu konstitusionalitas norma a quo, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
“Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.
Baca juga: Pemohon Uji Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden Perbaiki Permohonan
Sebelumnya, Lieus selaku Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ia mengatakan Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional” bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.
Menurut Pemohon, keberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tidak memenuhi kedua syarat tersebut. Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden. Menurut Pemohon, secara konseptual konstruksi normatif Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan 2 (dua) kepentingan secara bersamaan, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagai hak konstitusional warga negara. Sehingga, lanjutnya, inkonstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu juga berkolerasi pada pelanggaran hak konstitusional Pemohon, yaitu mendapatkan sebanyak-banyak pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan (calon presiden dan calon wakil presiden) pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon agar Mahkamah mengabulkan permohonannya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim