JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU BBLNLK) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara daring pada Selasa (22/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 12/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Ludjiono, pensiunan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Sidang dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh selaku Ketua Panel, didamping dua Anggota Panel yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Setelah ketua panel membuka persidangan lalu Pemohon dipersilakan memperkenalkan diri, kemudian panel hakim mempersilalkan Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan. Pemohon mempersoalkan tidak adanya definisi Bahasa Indonesia dalam UU BBLNLK.
“Identitas atau keterangan jati diri bahasa Indonesia yang berupa definisi Bahasa Indonesia, sebagaimana dimaksud pada Bab III tentang Bahasa Negara Pasal 25, Pasal 30, dan Pasal 40 Undang‑Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, tidak ada. Yang ada hanya nama Bahasa Indonesia tanpa ada wujud atau definisi Bahasa Indonesia atau kosong. Ibarat ada nama Sutonoyo sebagai pejabat negara mendapat gaji dan tunjangan, tetapi orangnya tidak ada,” jelas Ludjiono kepada Panel Hakim MK.
Hal tersebut menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1) Undang‑Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak‑hak konstitusional Pemohon. Pembuatan identitas kewarganegaraan Pemohon yang berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP), dibuat dengan Bahasa Indonesia yang tanpa definisi atau tanpa wujud Bahasa Indonesia yang jelas atau kosong.
Pemohon memerlukan kepastian hukum mengenai identitas kewarganegaraan Pemohon berupa KTP yang merupakan benda paling berharga di bawah kekuasaan Pemohon. Pemohon merasa direndahkan kehormatan, harkat, dan martabat serta mengganggu kemerdekaan pikiran dan hati nurani Pemohon.
Nasihat Hakim
Menanggapi hal tersebut, panel hakim menyampaikan saran kepada Pemohon. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasihati Pemohon agar mempelajari contoh‑contoh permohonan pengujian Undang-Undang yang diunggah di website MK.
“Ini penting, supaya menjadi lebih baik, ya. Kedua, di sistematikanya ini nampaknya harus diperhatikan, Pak Ludjiono. Bapak ini hanya menyampaikan terkait Pasal 25. Padahal Pasal 25 itu terdiri 3 ayat. Oleh sebab itu, tidak perlu berlama‑lama menguraikan pasal‑pasal ini, tetapi Pak Ludjiono untuk melihatnya bertentangan dengan pasal berapa di Undang‑Undang Dasar Tahun 1945” kata Wahiduddin.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan Pemohon agar memberikan penegasan soal kewenangan MK untuk memeriksa permohonan yang diajukan oleh Pemohon ajukan. Kemudian pada bagian kedudukan hukum, Saldi menyarankan Pemohon agar menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dialaminya, baik kerugian hak konstitusional yang potensial maupun yang faktual terjadi.
“Tadi Bapak mengatakan sulit mendefinisikan di KTP dan segala macamnya. Tapi kalau Bapak lihat di Undang‑Undang Dasar 1945, itu juga enggak disebutkan soal bahasa itu. Di Pasal 36, bahasa negara ialah Bahasa Indonesia. Enggak ada Pak (mengenai) penyebutan Bahasa Indonesia yang bagaimana dan segala macamnya itu. Nah, kan ini yang menjadi sandaran konstitusional kita kalau bicara soal bahasa. Begitu juga lagu kebangsaan dan segala
macamnya. Jadi, di Bab XV Undang‑Undang Dasar 1945 itu soal Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, itu juga enggak diuraikan,” ungkap Saldi.
Selanjutnya Ketua Panel Daniel Yusmic P. Foekh menyoroti petitum Pemohon. “Petitum yang tadi Bapak baca itu banyak sekali. Tapi acuan kami pada persidangan saat ini adalah permohonan Pak Ludjiono yang kami terima di MK pada 26
Januari. Nanti setelah ini silakan Bapak bisa melakukan perbaikan. Tapi dengan catatan begini, Mahkamah Konstitusi ini hanya menguji norma, tidak pada kasus konkret,” kata Daniel.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.