JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan terhadap permohonan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Selasa (22/2/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan ini diajukan oleh Partai Ummat yang diwakili oleh Ridho Rahmadi sebagai Ketua Umum dan A. Muhajir selaku Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat.
Dalam persidangan Perkara Nomor 11/PUU-XX/2022 tersebut, Muhamad Raziv Barokah selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Adapun perbaikannya terdapat pada halaman 6 angka 3-4 dengan memasukkan kutipan mengenai MK serta telah memperbaiki kedudukan hukum (legal standing) Partai Ummat.
Baca juga: Terkendala Usung Capres, Partai Ummat Uji Ketentuan Presidential Treshold
Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Pemohon menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu bukanlah open legal policy dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Menurut Pemohon, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 merupakan delegasi yang mengamalkan hal-hal terkait dengan teknis, sementara ambang batas 20% bukan berbicara mengenai teknis dan malah menghambat terjadinya demokrasi yang fair dan kompetitif. Sementara itu, mengenai pengusungan, sambung Raziv, hal tersebut seharusnya telah diatur secara limitatif dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, keberadaaan Pasal 222 UU Pemilu ini diyakini pemohon bukan merupakan open legal policy melainkan close legal policy. Sehingga, seharusnya pasal a quo dibatalkan oleh MK.
Kemudian, presidential threshold juga menghilangkan hak konstitusional pemohon sebagai partai politik untuk mengusulkan calon presiden, mendisrikiminasi partai politik kecil, dan bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. “Dengan adanya Pasal 222 yang menambahkan frasa 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional menjadikan hak konstitusional murni yang diberikan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menjadi hilang dan tentunya merugikan pemohon,” tegasnya di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto.
Menurut Pemohon, penerapan presidential threshold berpotensi menutup ruang dilaksanakannya putaran kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Hal ini terbukti pada penyelenggaraan pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019, yang hanya menghadirkan dua pasangan calon yakni presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sehingga, pada petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayudhita