JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), pada Selasa (22/2/2022). Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 tersebut diajukan oleh Dewi Nandya Maharani, Suzie Alancy Firman, Moh. Sidik, Rahmatulloh, dan M. Syaiful Jihad. Para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada sidang kedua ini, Sulistyowati selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan beberapa poin perbaikan permohonan pihaknya. Di antaranya mengenai kelengkapan identitas para Pemohon sesuai sistematika permohonan MK, melengkapi alat bukti para Pemohon, dan menambahkan elaborasi pemilu serentak.
“Pada permohonan ini, kami juga melakukan penambahan Pemohon yang tadinya 5 orang menjadi 6 orang,” jelas Sulistyowati dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Baca juga: Tak Dapat Pilih Langsung Kepala Daerah, Sejumlah Warga Negara Uji UU Pilkada
Seperti diketahui pada sidang terdahulu, para Pemohon menyatakan akibat UU Pilkada mereka kehilangan kesempatan untuk memilih kepala daerah yang diharapkan membawa kesejahteraan masyarakat, tetapi dipaksa menerima pejabat kepala daerah dikenal. Sebab, jika kepala daerah dikenal melalui kampanye yang memaparkan visi dan misi jika terpilih sebagai kepala daerah dan mewujudkan program kerja yang kinerjanya dapat dipantau melalui mekanisme yang berlaku. Sementara, jika pejabat hanya ditunjuk maka visi misi yang akan dijalankan dipertanyakan, utamanya pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Melalui pengangkatan seseorang yang ditunjuk pemerintah sebagai pengganti sementara gubernur/bupati/walikota, maka hal ini tidak mencerminkan kepentingan umum dan ketidakberpihakan. Dengan kata lain, Pemerintah tidak lagi bertindak dengan bijak demi kepentingan umum karena telah menciderai yang dipilih rakyat sebagai pemimpin daerahnya masing-masing. Sehingga pada petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara A.