JAKARTA, HUMAS MKRI – Bagi masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, tidak dibebankan biaya tetapi dibebaskan atau dibantu dengan menganggarkannya dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Hal ini sesuai Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal yang menyatakan, “Dalam pelaksanaan pemenuhan pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah Daerah dapat: a, membebaskan biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi Warga Negara yang berhak memperoleh Pelayanan Dasar secara minimal, dengan memprioritaskan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. memberikan bantuan pemenuhan barang dan/jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh Warga Negara secara minimal, dengan memprioritaskan bagi masyarakat miskin atau tidak mampu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal tersebut diungkapkan oleh Dian Puji Nugraha Simatupang selaku Ahli Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (7/2/2022) siang. Permohonan perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP).
Baca juga: Majelis Rakyat Papua Gugat Revisi UU Otsus Papua
Standar Pelayanan Minimal
Dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, khususnya pelayanan dasar yang didefinisikan sebagai jenis pelayanan dalam rangka penyediaan barang dan/atau jasa kebutuhan dasar yang berhak diperoleh oleh setiap warga negara, di antaranya adalah kesehatan yang dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, pemerintah daerah dapat membebaskan biayanya atau memberikan bantuan pemenuhannya.
“Masyarakat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat termasuk daerah yang tidak dibebankan biaya tetapi dibebaskan atau dibantu dengan menganggarkannya dalam Peraturan Daerah tentang APBD,” ujar Dian kepada Pleno Hakim Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Dikatakan Dian, penggunaan frasa “beban masyarakat serendah-serendahnya” menunjukkan masih adanya biaya yang dibebankan kepada mereka yang seharusnya negara dan/atau daerah membebaskan dan/atau wajib memberikan bantuan. Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), jaminan kesehatan kepada warga masyarakat tersebut diberikan bantuan iuran, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 21 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang mengatur peserta yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh pemerintah.
“Penggunaan frasa beban masyarakat serendah-rendahnya dalam Pasal 59 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2021 berpotensi melanggar hak kelompok masyarakat yang sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab. Frasa beban masyarakat serendah-rendahnya berpotensi menimbulkan ketidakadilan karena semua masyarakat dikenakan biaya atas kesehatan, karena menyamakan semua kriteria masyarakat apapun apakah kurang mampu atau berkemampuan lebih, tetap dikenakan biaya meskipun rendah,” urai Dian selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI)
Baca juga: Majelis Rakyat Papua Perbaiki Gugatan Revisi UU Otsus Papua
Tak Mudah Direalisasikan
Ahli Pemohon lainnya, Adriana Elizabeth mengatakan substansi Otsus Papua adalah ingin menyejahterakan masyarakat Papua. “Dalam konteks ini, artinya menyejahterakan sebagian dari Indonesia itu sendiri,” kata Adriana yang juga Dosen Program S2 Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH).
Selain itu, sambung Adriana, Otsus Papua dapat dikatakan sebagai bentuk pendekatan resolusi konflik, untuk mengatasi kesenjangan rasa percaya yang diawali dengan munculnya rasa ketidakpuasan di masa lalu dan beberapa praktik ketidakadilan di Papua. “Kemudian yang paling dirasakan adalah marjinalisasi orang asli Papua,” ucap Adriana.
Baca juga: Menko Polhukam: UU Otonomi Khusus Perkuat Papua Sebagai Bagian Sah NKRI
Tujuan otonomi khusus, ujar Adriana, selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga dimaksudkan untuk mengatasi persoalan-persolan konflik yang terjadi dalam suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat Papua. Namun demikian, otonomi khusus tidak seluruhnya dapat diterapkan di Papua. Hal ini disebabkan sejak awal, ketika transisi otonomi khusus akan dilakukan pada 2001, ternyata tidak cukup memberikan otoritas penuh kepada Papua, termasuk tidak cukup memberikan anggaran secara baik.
UU Otsus Papua bisa dikatakan sebagai jalan tengah atau sebuah hasil kompromi. “Semua bisa dikompromikan. Meskipun dalam perjalanannya, tidak mudah untuk merealisasikan UU Otonomi Khusus karena ada persoalan awal yang sudah muncul ketika pembahasan otonomi khusus dilakukan,” tegas Adriana.
Baca juga: Perubahan UU Otsus Papua Abaikan Hak OAP
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP). Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.
Timotius Murib mengajukan permohonan tersebut karena setelah mencermati perubahan UU Otsus Papua, terdapat klausul-klausul yang justru merugikan kepentingan dan hak konstitusional Pemohon dan secara khusus kepentingan dan hak konstitusional rakyat orang asli Papua (OAP). Ia menjelaskan perubahan dan penambahan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) UU Otsus Papua tentang Kedudukan, Susunan, Tugas, dan Wewenang Hak dan Tanggung Jawab Keanggotaan Pimpinan dan Alat Kelengkapan DPRP dan DPRK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang justru menciptakan ketidakpastian hukum.
“Kemudian, penghapusan norma Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) tentang Penghapusan Pembentukan Partai Politik serta perubahan frasa ‘wajib’ menjadi ‘dapat’ pada norma Pasal 68 ayat (3) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2001, perubahan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tambah Timotius.
Selain itu, Timotius menyebut dipertahankannya norma Pasal 77 UU Otsus Papua menjadikan pasal tersebut multitafsir. Pasal tersebut mengatur mengenai usul perubahan atas UU Otsus Papua dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pasal tersebut, ia mengungkapkan bahwa perubahan beberapa pasal atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah murni hasil inisiatif pihak pemerintah pusat, bukan usul dari rakyat Papua.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.