JAKARTA, HUMAS MKRI – Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra yang menjabat sebagai Anggota DPD melakukan perbaikan permohonan uji materiil aturan ambang batas pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perbaikan tersebut disampaikan dalam sidang kedua Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2022 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/2/2022) di Ruang Sidang MK.
Dalam perbaikan yang disampaikan oleh Achmad Yani selaku kuasa hukum, para Pemohon menambahkan batu uji pasal dalam UUD 1945. Pasal yang ditambahkan, yakni yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28C UUD 1945. Selain itu, para Pemohon juga telah memperbaiki kedudukan hukum sesuai dengan saran Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Manahan M.P. Sitompul tersebut.
“Berkenaan dengan kedudukan para Pemohon. Ini kami juga memperluas ya, mengenai kedudukan Para Pemohon, yaitu berkenaan bahwa menurut kami hak-hak konstitusional yang diatur dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3). Termasuk kami juga mengutip mengenai pembukaan, yaitu alinea keempat dari pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kemudian, kami juga menyatakan bahwa setiap undang-undang yang berlaku di negara Republik Indonesia ini adalah mengikat seluruh warga negara. Oleh karena itu, Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya mengikat partai politik, tapi mengikat seluruh warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Para Pemohon di sini adalah sebagai warga negara, berhak untuk mengajukan gugatan dalam kedudukannya sebagai warga negara,” papar Achmad Yani.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU Pemilu. Dalam konstruksi normatif, menurut para Pemohon, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara berbarengan, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagai hak konstitusional warga negara yang selama ini jadi roh pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam pengujian norma undang-undang dalam ranah pemilihan umum.
Pemberlakuan pasal tersebut telah mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon untuk mempunyai lebih banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hak konstitusional para Pemohon sebagai rakyat pemilih yang sudah dijamin dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 untuk secara langsung memilih pasangan capres dan cawapres itu dibatasi oleh syarat ambang batas pengusulan yang senyatanya tidak ada dasarnya menurut UUD 1945.
Para Pemohon berpendapat, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) melainkan kebijakan hukum yang telah ditentukan secara eksplisit oleh UUD 1945 dan tidak diberikan delegasi kepada undang-undang. Adapun pemberian delegasi kepada pembuat undang-undang adalah mengenai tata cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan keberlakuan Pasal 222 UU Pemilu. (*)
Penulis: Lulu Anjarsari
Editor: Lulu A
Humas: Fitri Yuliana