JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Kontitusi Anwar Usman menyampaikan kuliah umum di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Muhammadiyah Bima, Senin, (31/01/2022), di Aula STIH Muhammadiyah Bima, Nusa Tenggara Barat. Anwar memaparkan tema “Konstitusi Sebagai Sarana Perubahan Sosial. Kegiatan ini dihadiri sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Bima dan Pemerintah Kabupaten Bima, Kepala Kepolisian Resor Bima Kota, dan Kepala Kepolisian Bima.
Dalam kuliah umum tersebut Anwar mengatakan “Konstitusi Sebagai Sarana Perubahan Sosial” harus dipahami secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal konstitusi merupakan resultante politik dari para wakil rakyat yang telah terpilih secara legitimate melalui proses pemilu, dan memiliki kewenangan untuk membentuk suatu konstitusi, yang menjadi hukum dasar bagi kehidupan bangsa dan negara.
“Cara pandang ini juga merupakan bagian dari cara pandang proses pembentukan dan perubahan konstitusi secara formal. Namun cara pandang ini bisa memiliki residu negatif, misalnya, karena konstitusi merupakan produk resultante politik, maka konstitusi menjadi bersifat elitis dan menegasikan keberadaan masyarakat secara luas. Bahkan dalam cara pandang ini, bisa saja klaim kebenaran tentang konstitusi, menjadi klaim kebenaran segelintir kelompok elite tersebut,” kata Anwar.
Dalam cara pandang vertikal, rakyat sebagai pemangku utama kedaulatan, hanya diposisikan sebagai penonton dalam konstruksi perubahan sosial yang terjadi. Selain itu, kata Anwar, rakyat bisa saja menjadi korban akibat tafsir konstitusi yang dilakukan hanya bagi kepentingan kelompok elit. Cara pandang ini, juga berakibat kepada makna konstitusi yang menjadi lebih bersifat statis.
Di sisi lain, cara pandang makna konstitusi sebagai sarana perubahan sosial dipahami secara horizontal. Dengan cara pandang ini maka tafsir konstitusi sebagai hukum dasar tidak hanya dominasi dan milik kelompok elite semata, melainkan juga melibatkan rakyat. Cara pandang konstitusi horizontal ini lebih dinamis dan mendekatkan konstitusi kepada rakyat, serta menjadikan UUD 1945 sebagai konstitusi yang hidup.
Anwar menjelaskan, beberapa pakar menilai amendemen konstitusi Indonesia dihasilkan oleh penerapan teori hukum secara eklektik. Penerapan teori hukum secara eklektik dapat diterjemahkan sebagai penerapan teori hukum yang memilih atau menggabungkan teori hukum yang ada, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi faktual yang terjadi. Konstitusi sebagai sarana perubahan sosial, tidak semata-mata menjadi dominasi kelompok elite, melainkan juga melibatkan peran rakyat dalam mengkonstruksi perubahan sosial dimaksud.
“Peran masyarakat dalam menjadikan konstitusi sebagai sarana perubahan sosial adalah, melalui lembaga peradilan konstitusi yang saat ini kita kenal sebagai anak kandung reformasi bernama Mahkamah Konstitusi,” ungkap Anwar.
Dalam rangka menjaga konstitusionalitas norma UU terhadap UUD 1945, MK memiliki tugas untuk mengawal konstitusionalitas norma UU agar tidak keluar dari track-nya. Dalam konteks mewujudkan pembangunan yang berkeadilan guna pemenuhan terhadap hak asasi manusia, MK telah melaksanakan hal tersebut melalui beberapa putusannya.
Lebih lanjut Anwar mengatakan, pada dasarnya, materi muatan konstitusi yang berlaku di seluruh negara berisi jaminan perlindungan hak asasi manusia kepada warga negaranya, selain tentunya memuat hal-hal tentang pengaturan ketatanegaraan. Dengan demikian, menegakkkan konstitusi berarti sama dengan menegakan pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi hak bagi warga negara. Namun demikian, konstitusi yang merupakan norma dasar bernegara, materi muatannya lebih bersifat abstrak sehingga harus ditindaklanjuti dengan pembentukan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai peraturan pelaksana.
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal norma dasar bernegara, terang Anwar, memiliki peran untuk menjaga agar keseluruhan proses bernegara sejalan dengan konstitusi, termasuk di dalamnya adalah pembangunan yang dilakukan untuk pemenuhan hak asasi manusia dan mewujudkan negara yang sejahtera. Pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara harus dilandasi dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.
Dalam rangka itu, peran Mahkamah Konstitusi adalah untuk mengawal proses pembangunan agar dapat mewujudkan keadilan sosial dan negara yang sejahtera sejalan dengan norma konstitusi. Di samping itu, keberadaan MK menjamin proses pembangunan yang selaras dengan konstitusi.
Dalam kesempatan itu, peneliti senior pada Mahkamah Konstitusi, Nallom Kurniawan, menyampaikan materi mengenai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan. Menurut Nallom, UU tersebut mengatur bagaimana kedudukan pejabat negara dalam kegiatan negara maupun kegiatan resmi. sehingga dalam pelaksanaan setiap kegiatan, baik kegiatan/acara kenegaraan atau acara resmi, pejabat negara harus mematuhi tentang peraturan perundang-undangan tentang keprotokolan.
Nallom memberikan contoh bagaimana Undang-Undang Keprotokolan mengatur sendi kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasar pengalaman Nallom ketika mengikuti kegiatan resmi MKRI di luar negeri, masing-masing negara memiliki prosedur protokoler masing-masing tergantung dari kondisi negara tersebut.
Selain itu, menurut Nallom, kedudukan lembaga peradilan konstitusi dianggap memiliki kedudukan yang sederajat dengan kepala negara, sehingga pelaksanaan protokolernya pun disamakan dengan kepala negara yang berkunjung ke negara tersebut. Namun demikian, MKRI tidak pernah mau menerima dan memanfaatkan tawaran fasilitas swasta asing dari negara tersebut, dan hanya mau menerima fasilitas resmi yang diberikan oleh negara yang menjadi destinasi kunjungan MKRI.
Penulis: Ilham Wiryadi Muhammad
Editor: Nur R.