Bengkulu-RoL-- Pengamat politik dari Universitas Bengkulu (Unib), Ardilafiza SH, M.Hum, menyarankan agar status pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak dijadikan sebagai lembaga permanen tapi cukup Ad Hoc (join section).
"Dalam UUD 1945 pun tidak ada pasal atau ayat yang mengatur MPR sebagai lembaga permanen," katanya saat diskusi publik RUU tentang Susduk MPR, DPR dan DPD di Bengkulu, Kamis.
Menurut dia, lembaga tertinggi negara itu, hanya bekerja atau bersidang selama satu kali dalam lima tahun, yakni ketika mengangkat presiden dan wakil presiden.
Di luar itu, sifatnya hanya insidentil, yakni baru menggelar sidang kalau terjadi penggantian presiden jika berhalangan tetap dan melakukan pembahasan amandemen UUD jika akan dilakukan.
Ia juga menilai, MPR relatif tidak ada tugas karena itu kemudian "mengambil" tugas orang lain, seperti sosialisasi UUD 1945, yang seharusnya dilakukan oleh akademisi ataupun elemen lainnya.
"Ke depan, kita harapkan MPR tidak lagi melakukan sosialisasi terhadap UUD," katanya.
Hal senada dikemukakan pengamat politik dari Unib lainnya, Amirizal SH, M.Hum, yang juga menilai paska terjadi amandemen terhadap UUD 1945, kedudukan MPR tidak lagi permanen.
"Sebenarnya, sebalum adanya amandemen terhadap UUD 1945, MPR merupakan lembaga permanen, tapi kini tidak lagi. Karena secara kelembagaan tidak permanen maka pimpinannya pun jangan permanen," katanya.
Karena itu, status MPR yang tidak permanen itu harus dijabarkan dalam RUU tentang Susduk DPR, DPD dan DPRD, termasuk masalah unsur pimpinan MPR tersebut.
Penilaian yang sama juga disampaikan Reni Rawasita Pasaribu, dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), menurut dia, selain tidak permanen MPR juga tidak mempunyai tugas, karena itu pimpinan lembaga itu minta tugas tambahan.
Ia menjelaskan, karena lembaga MPR tidak permanen maka unsur pimpiannya pun sebaiknya tidak dipermanenkan. Pimpinan MPR jangan menjabat selama lima tahun atau satu periode.
"Kalau kita mengusulkan, pimpinan MPR itu dibentuk ketika akan ada pertemuan antara DPR dengan DPD, untuk formulasinya ada beberapa alternatif," katanya.
Alternatif pertama, bisa pimpinan DPR juga menjadi pimpinan MPR, atau dipilih saat akan pertemuan secara bergantian. Dalam pertemuan pertama dipilih dari DPR dan selanjutnya dari DPD.
Reni juga menilai, dengan status unsur pimpinan MPR tidak permenen, selain lebih effektif juga dapat menghemat anggaran.
Anggota Pansus RUU tentang Susduk DPR, DPD dan DPRD, Rustam E Tamburaka yang juga anggota Fraksi Partai Golkar DPR menjelaskan, dalam RUU tersebut memang mengemuka dua pandangan tentang unsur pimpinan MPR itu, yang yang menginginkan agar Ad Hoc dan ada juga yang mengusulkan agar permanen.
"Pihak yang mengusulkan agar tidak permenan, supaya semuanya kebagian jatah menjadi unsur pimpinan MPR," katanya.
Fraksi Partai Golkar sendiri lebih condong agar tidak permanen dan mengusulkan agar ke depan MPR dapat menggelar sidang minimal dua kali dalam setahun yakni pada 20 Mei berkaitan dengan Sidang Umum MPR dan 16 Agustus guna memperingati HUT Kemerdekaan RI.
"Kami dari Fraksi Partai Golkar juga mengusulkan agar pergantian unsur pimpinan MPR dilakukan setehun sekali atau dalam satu periode (5 tahun) terjadi lima kali pergantian," ujarnya. antara/abi
Sumber www.okezone.com
Foto www.google.co.id