JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan Musa Darwin Pane digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/1/2022).
Pemohon Perkara Nomor 1/PUU-XX/2022 ini kembali mempertegas permohonannya yang mendalilkan Pasal 21 ayat (1) huruf b dan Pasal 117 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mensyaratkan minimal usia sekurang-kurangnya 40 tahun untuk menjadi anggota KPU menciderai asas persamaan di muka hukum.
Saat Pemohon mengikuti seleksi menjadi anggota KPU, Pasal 11 huruf b dan Pasal 85 huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 menegaskan batas usia peserta seleksi KPU RI dan Bawaslu RI sekurang-kurangnya 35 tahun untuk KPU dan/atau Bawaslu di tingkat pusat. Sedangkan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sekurang-kurangnya 30 tahun. Oleh karena itu, menurut Pemohon, ketentuan pasal tersebut bersifat diskriminatif.
“Musa Darwin Pane selaku Pemohon, berprofesi sebagai advokat, dosen, dan profesional muda. Pemohon beranggapan bahwa menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dirinya memiliki hak yang sama di hadapan hukum,” kata kuasa hukum Pemohon, Sahat Maruli T. Situmeang kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Selain itu, ungkap Sahat, Pemohon adalah peserta seleksi anggota KPU Republik Indonesia periode 2022-2027 sebagaimana bukti pendaftaran CP-KPU-00306 yang berkepentingan langsung dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khusus Pasal 21 ayat (1) huruf b dan Pasal 117 ayat (1) huruf b yang dimohonkan.
Mengenai perbaikan permohonan adalah di bagian posita. “Kami menambahkan aspek yuridis, fisiologis, sosiologis. Dengan menambahkan landasan yuridis, landasan filosofis, dan landasan sosiologis,” kata kuasa hukum Pemohon lainnya, Ucok Rolando P. Tamba.
Sebelumnya, Pemohon mengungkapkan parameter kerugian konstitusional. Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi lima syarat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 yaitu adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945; Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus), dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b, Pasal 117 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dirasa diskriminatif, sehingga menghalangi hak asasi Pemohon, yakni hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukumterhadap Pemohon sebagai akademisi dan profesional berumur di bawah 40 tahun untuk menjadi anggota komisoner KPU dan Bawaslu. Padahal mengenai batas umur 35 tahun untuk menjadi bakal calon anggota KPU dan/atau Bawaslu sudah pernah diuji berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Maret 2017 yang secara pokok umur sekurang-kurangnya 35 tahun untuk menjadi KPU dan/atau Bawaslu tersebut konstitusional. Namun, pemerintah dalam hal ini Presiden dan DPR mengubahnya menjadi 40 tahun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Fitri Yuliana