JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Rabu (26/1/2022). Permohonan perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Hardizal.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, kuasa hukum Pemohon, Harli, mengatakan terdapat penambahan pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28i ayat (4) serta penambahan pokok permohonan. Selain itu, sambung Harli, mengenai nebis in idem dengan perkara Nomor 99/PUU-XV/2018 yang menguji frasa pengedar narkotika dan pemakai narkotika, dalam hal ini pemohon menguji frasa serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya yang kaitannya dipersamakan dengan pengguna psikotropika. Menurutnya, Pemohon menyimpan psikotropika yang sering kali disamakan pengguna narkoba. Harli menegaskan, Pemohon hanya menyimpan tetapi tidak menggunakan.
Baca juga:
Mantan Terpidana Narkoba Uji Syarat Pencalonan Kepala Daerah
Untuk diketahui, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (13/1/2022), Harli selaku kuasa hukum Hardizal (Pemohon) mengungkapkan bahwa Pemohon merupakan mantan terpidana narkotika yang telah menjalani hukuman serta pernah menjadi bakal calon kepala daerah Kota Sungai Penuh 2020. Pada masa pendaftaran bakal pasangan calon, Pemohon telah mendapat surat mandat sebagai bakal calon wakil walikota Sungai Penuh dari Partai PDI Perjuangan, PPP, dan Partai Berkarya. Kemudian pada akhir masa pendaftaran Pilkada tahun 2020, Partai Berkarya mencabut rekomendasinya dengan alasan Pemohon memiliki catatan kriminal sebagai pengguna Narkoba yang didasarkan pada SKCK. Oleh karena tidak memenuhi persyaratan calon akibat adanya Pembatalan Surat Rekomendasi, maka PDI Perjuangan dan PPP juga mengalihkan rekomendasi persetujuannya ke pasangan walikota Sungai Penuh yang lain.
Adapun materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I UU Pilkada.
Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;” Kemudian Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i menyatakan, “Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” antara lain judi, mabuk, Pemakai/pengedar Narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya;”
Menurut Pemohon, berlakunya Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menghalangi hak konstitusi Pemohon untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) yakni hak memilih dan hak dipilih (hak aktif dan hak pasif). Hak aktif sebagai calon dihilangkan dengan berlakunya ketentuan tersebut. Menurutnya, ketentuan tersebut diberlakukan secara akumulatif.
Lebih lanjut Harli menyebutkan, orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang sudah diadili dan dihukum masih bisa mencalonkan. Sementara pelaku tindak pidana penggunaan narkoba dihalangi seumur hidup haknya dengan kata lain tidak bisa hanya dengan keterangan SKCK.
Berlakunya ketentuan Pasal 7 huruf i serta Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf I, sambung Harli, menghilangkan kesempatan Pemohon untuk selamanya menjadi calon kepala daerah atau hak untuk dipilih. Harli meminta untuk hak pemohon diberlakukan sama dengan pelaku pidana korupsi.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan pembentukan rumusan Norma Pasal 7 ayat (2) huruf i dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang menyatakan Perbuatan tercela sebagai salah satu prasyarat akumulatif dalam pencalonan kepala daerah, tidak sejalan atau tidak konsisten dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
Pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan seseorang yang telah menjalani hukuman pemidanaan juga menjadi tujuan sistem pemasyarakatan berdasarkan UU Pemasyarakatan. Lingkup perbuatan tercela yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i tersebut terlalu luas, secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk. Pertama, perbuatan tercela yang diatur KUHP Pidana dan Pidana Khusus, Pertanggungjawaban Pidana dapat dilakukan dengan dua aspek penting, dilakukan dengan prosedur (formil) dan materiil (substantif). Kedua, perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, yang tidak jelas dasar hukumnya. Sehingga luasnya perbuatan tercela dan tidak memberikan para pihak membela diri dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, memiliki implikasi ketidakpastian hukum terhadap warga negara.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.