JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Pasal 1 angka (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) tidak dapat diterima. Demikian Putusan Nomor 61/PUU-XIX/2021 dibacakan dalam sidang pembacaan putusan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (25/1/2022). Sidang pengucapan putusan ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Terhadap permohonan yang diajukan 13 orang perseorangan warga negara yang tergabung sebagai Aktivis Penegakan Hukum dengan berbagai profesi ini, Mahkamah memberikan beberapa pertimbangan hukum. Untuk Pemohon I yang berstatus Pegawai Kejaksaan sebagai Analis Penuntutan yang ditempatkan pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una yang menyatakan atas segala aturan mengenai kelembagaan Kejaksaan RI berdampak terhadap hak konstitusionalnya. Dalam hal ini, sambung Hakim Konstitusi Suhartoyo, Pemohon I pun telah dapat menerangkan hak konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya norma yang diujikan. “Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan, maka Mahkamah berpendapat Pemohon I memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,” ucap Suhartoyo.
Sementara itu terkait Pemohon II – XIII, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya atas ketentuan yang diajukan tentang kelembagaan Kejaksaan RI. Sehingga Mahkamah menilai para Pemohon tersebut tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
Baca juga: Sejumlah Aktivis Persoalkan Independensi Kejaksaan
Selanjutnya terkait dengan objek permohonan, Mahkamah melihat bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU 11/2021), sebagian materi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan atau UU 16/2004) telah mengalami perubahan sehingga sebagian normanya dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian, sambung Suhartoyo, undang-undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, telah berbeda dengan UU 16/2004 yang berlaku. Sebab, undang-undang yang dijadikan objek seharusnya menjadi satu kesatuan. Dengan kata lain, objek permohonan yang diajukan Pemohon tidak lagi memiliki substansi undang-undang sama, bahkan sebagian besar norma pasal yang diajukan oleh para Pemohon telah diubah dalam UU 11/2021. “Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum yang telah dipertimbangkan tersebut, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon telah kehilangan objek,” kata Suhartoyo.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan kejelasan kedudukan Kejaksaan RI secara normatif dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Para Pemohon menginginkan Kejaksaan RI memiliki independensi struktural yang kuat sehingga terhindar dari gangguan dan intervensi pihak luar. Dalam hal ini, para Pemohon mendalilkan penyebutan Kejaksaan sebagai “Lembaga Pemerintahan” dalam Pasal 2 ayat (1) yang disertai dengan adanya pengaturan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan terkait mekanisme pengangkatan Jaksa Agung tanpa melalui mekanisme Fit and Proper Test Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wujud penerapan prinsip Checks and Balances dalam penalaran yang wajar, dapat dikatakan sangat berpotensi menimbulkan gangguan terhadap independensi struktural Kejaksaan RI sebagaimana fungsi utamanya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman atau proses penegakan hukum, yaitu penuntutan. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut para Pemohon, pengaturan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan dapat membuka ruang kesempatan kepada Presiden sebagai organ politik baik demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan fungsi penegakan hukum Kejaksaan RI. Sebab berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Jaksa Agung secara sepihak oleh Presiden tanpa persetujuan terlebih dahulu dari DPR.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana