JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (24/1/2022) siang. Sidang Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 tersebut digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari Universitas Indonesia sebagai Pihak Terkait. Perkara ini dimohonkan oleh Sri Mardiyati yang pernah menjabat sebagai Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI). Pemohon mempersoalkan Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menghalangi Pemohon untuk memperoleh gelar guru besar.
Baca juga: Dosen FMIPA UI Uji Ketentuan Pengangkatan Guru Besar
Dalam sidang tersebut, Pihak Terkait menghadirkan Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI Yoki Yulizar menyampaikan bahwa guru besar memegang posisi yang penting dan strategis di UI. Jumlah guru besar menentukan pula dalam pemeringkatan atau ranking UI di tingkat nasional maupun internasional.
“Oleh karena itu, terkait penambahan guru besar menjadi sasaran strategis yang dimuat dalam Rencana Strategis UI,” jelas Yoki kepada Pleno Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Baca juga: Dua Ahli Pemerintah Jelaskan Soal Pengangkatan Profesor
Peningkatan Jumlah Guru Besar
Dikatakan Yoki, terdapat peningkatan kebutuhan jumlah Guru Besar UI, terutama di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam termasuk Departemen Matematika. Sejak 2018, Departemen Matematika FMIPA tidak memiliki guru besar, sehingga kesulitan membuka program studi doktor.
“Proses pengajuan guru besar di UI penuh dengan kehati-hatian dimulai dengan prosesnya di departemen, di FMIPA dan UI. Sebagai contoh, apa yang dialami oleh Ibu Sri Mardiyati selaku Pemohon sejak 2016 sudah mengajukan proses penilaian angka kredit dari lektor kepala dengan angka kredit 550 ke guru besar dengan angka kredit 850, yang membutuhkan angka kredit 300. Dari angka kredit tersebut, komponen paling besar adalah penelitian yang memerlukan 45 persennya atau sekitar 135 angka kredit,” urai Yoki.
Baca juga: Dua Saksi Presiden Hadir dalam Sidang Uji UU Guru dan Dosen
Yoki menjelaskan, dalam reviu artikel jurnal di fakultas, melibatkan dua reviewer artikel jurnal dari luar UI. Terkait pengajuan Sri Mardiyati, UI mengundang peninjau artikel jurnal dari ITB sesuai dengan disiplin ilmunya. Setelah itu, dekan mengajukan ke rektor dan kemudian meneruskan ke Dewan Guru Besar UI, yang hasil penilaiannya disampaikan kembali kepada rektor.
Setelah dinyatakan lengkap dan tanpa kekurangan, berkas Sri Mardiyati diserahkan kepada pihak Pendidikan Tinggi (Dikti). Dalam proses penilaian Dikti, pengajuan Sri Mardiyati ditolak.
Baca juga: Yusril: Tak Ada Standar Nasional Penetapan Jenjang Jabatan Akademik
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI). Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun usulan tersebut ditolak oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, dalam hal ini direktorat jenderal pendidikan tinggi. Dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU No. 14/2005, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional. Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan direktorat pendidikan tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena menteri pendidikan dan kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
Menurut Pemohon, dalam praktiknya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU a quo diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU No. 14/2005. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Tiara Agustina