JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), Senin (24/1/2022). Sidang Panel perkara yang dipimpin oleh Hakim konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan M.P. Sitompul ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK. Pada sidang kedua Perkara Nomor 67/PUU-XIX/2021 ini, Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak melalui Ahmad Irawan dan Zain Maulana Husein menyampaikan beberapa catatan perbaikan permohonannya.
“Kewenangan Mahkamah sudah ditambahkan yakni UU Nomor 7/2020 kaitannya dengan perubahan ketiga dan penyertaan PMK Nomor 2/2021. Selanjutnya berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon telah juga disempurnakan jika Pemohon I memiliki hak pilih dan dipilih,” kata Irawan dalam sidang yang mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, untuk batu uji hak konstitusional, para Pemohon mengubah dengan menjadikan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan pengujian dengan UU a quo. Sementara itu, berkaitan dengan kedudukan hukum para Pemohon telah pula disampaikan uraian mengenai keinginan Pemohon I untuk mencalonkan diri dengan berbagai persiapan, termasuk dengan mengajukan pengujian undang-undang ini pada MK.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Aturan Pemungutan Suara Serentak Pilkada pada 2024
Pada sidang sebelumnya, Pemohon I disebutkan pernah mencalonkan diri sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Intan Jaya pada 2017. Ia yang pernah mengikuti Pilkada Intan Jaya 2017 mengatakan seharusnya Bupati yang terpilih pada 2017, maka masa jabatannya berakhir pada 2022. Jika Pilkada Serentak digelar pada November 2024, maka terdapat kekosongan jabatan selama dua tahun. Dalam persoalan dirinya yang nantinya ingin mencalonkan diri pada pesta demokrasi daerah tersebut, harus menunggu 7 tahun sampai kemudian dapat kembali mencalonkan diri.
Sementara itu, Pemohon II yang memiliki hak pilih dan menggunakan hak tersebut pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tolitoli pada 2015 dan 2020 berpendapat terhadap pilihannya pada Pilkada 2020, maka pimpinan daerah yang terpilih hanya menjabat empat tahun. Padahal masa jabatan tersebut telah diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh sebab itu, para Pemohon melihat mekanisme pemotongan masa jabatan atau mengundurkan diri berpotensi mengurangi kualitas demokrasi pemilihan kepala daerah tersebut. Selain itu, hal demikian juga memberikan dampak negatif pada kualitas pelayanan publik di daerah. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.