JAKARTA, HUMAS MKRI – Hendaknya hukum tidak dijadikan sebagai komoditas. Hukum seharusnya dijadikan sebagai hal yang sakral dan diimplementasikan bagi kemaslahatan manusia Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat sebagai pembuka kala menjadi narasumber dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) pada Sabtu (22/1/2022) siang. Arief menyampaikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi“ dalam kegiatan yang merupakan kerja sama Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) dengan Fakultas Hukum dan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Diponegoro.
“Oleh karena itu, kalau nanti teman-teman berpraktik menjadi advokat, hendaknya hukum jangan dijadikan komoditi. Hukum hendaknya dijadikan sebagai barang yang sakral, diimplementasikan bagi kemaslahatan manusia Indonesia. Profesor Satjipto mengatakan berhukum itu untuk manusia, untuk kemaslahatan bangsa dan negara,” jelas Arief.
Dalam kesempatan tersebut, Arief menegaskan bahwa berhukum di Indonesia tidak sekuler, melainkan religius karena berhukum di Indonesia disinari Ketuhanan YME. “Dalam melakukan kegiatan berhukum hendaknya selalu didasarkan Sinar Ketuhanan. Konstitusi menyebutkan negara kita berdasarkan Pancasila. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, yang menandakan bahwa dalam berbagai kegiatan termasuk berhukum selalu dilandasi Sinar Ketuhanan yang Maha Esa, disinari oleh berbagai agama dan keyakinan, kepercayaan masyarakat yang hidup di Indonesia,” papar Arief.
Sinergi dari keyakinan dan kepercayaan masyarakat Indonesia itulah, menurut Arief, yang menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya berhukum. “Sehingga kita harus menyadari bahwa berhukum itu tidak sekuler, harus disinari dam dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa,” tuturnya.
Dalam kegiatan tersebut, Arief menjelaskan keberadaan Mahkamah Konstitusi dikembangkan oleh teori Hans Kelsen dari pakar hukum dari Austria. “Ada struktur dalam hukum, dimulai dari struktur paling atas yaitu Konstitusi sampai struktur paling bawah yaitu hukum pelaksanaan Konstitusi. Konstitusi menjadi landasan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Produk hukum di bawahnya harus konsisten, koherens, berkorespondensi dengan Konstitusi,” jelas Arief.
Supremasi Hukum
Selanjutnya, Arief menyampaikan Teori Supremasi Hukum bahwa yang menjadi supremasi dalam sebuah negara bukanlah politik maupun kekuasaan, tetapi supremasi hukum. Di antara produk-produk hukum yang paling tinggi adalah Konstitusi atau disebut The Supreme of The Land. Itu menjadi landasan dan patokan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Lantas siapa yang bertugas untuk menjaga konsistensi, koherensi, korespondensi hukum itu? Maka dibentuklah suatu lembaga yang disebut dengan Mahkamah Konstitusi. Ada negara yang membentuk Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri dengan kewenangannya, seperti di Malaysia yang disebut Mahkamah Persekutuan. Namun ada negara yang menggabungkan antara fungsi Mahkamah Konstitusi dengan peradilan biasa yang menegakkan hukum dan keadilan. Itu dilakukan oleh supreme court atau Mahkamah Agung, banyak di negara-negara common law,” ujar Arief.
Pembahasan Mahkamah Konstitusi, ungkap Arief, sebenarnya sudah dicetuskan pada masa kemerdekaan oleh Mohammad Yamin, namun idenya ditolak oleh Soepomo. Salah satu alasannya, di Indonesia kala itu belum banyak ahli hukum yang paham mengenai pengujian undang-undang. Bertahun-tahun kemudian, di awal reformasi 1998, banyak ahli hukum di Indonesia yang mempelajari hukum tata negara termasuk Mahkamah Konstitusi. Hingga akhirnya pada saat amendemen UUD 1945 tercetus kembali gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Keberadaan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannay diatur oleh UUD, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu, wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu Mahkamah Konstitusi punya kewenangan tambahan yakni memutus perselisihan hasil pilkada hingga terbentuk badan peradilan khusus menangani perselisihan hasil pilkada.
Pengujian Formil dan Materiil
Lebih lanjut Arief menerangkan bahwa alam pengujian undang-undang terhadap UUD terbagi menjadi pengujian formil dan materiil. Pengujian formil berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Sedangkan pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Arief juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, antara lain hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Selanjutnya, kata Arief, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan Mahkamah Konstitusi adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Arief pun menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di Mahkamah Konstitusi. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
Kuasa hukum dalam persidangan Mahkamah Konstitusi tidak harus advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Selain itu, di Mahkamah Konstitusi dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada Mahkamah Konstitusi.
Berikutnya, Arief menyinggung tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon.
Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim Mahkamah Konstitusi. Tahap berikutnya, sambung Arief, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Kemudian tahap akhirnya adalah sidang pengucapan putusan. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.