JAKARTA, HUMAS MKRI – Ferry Joko Yuliantono memperbaiki permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Perbaikan permohonan disampaikan kuasa hukumnya, Refly Harun dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (19/1/2022). Sidang Panel dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
“Kami sudah membuat permohonan ini berkembang menjadi 59 halaman dari sebelumnya 24 halaman. Pertama yang kami lengkapi adalah soal legal standing… Pada legal standing kami masukkan juga hak untuk dipilih. Jadi walaupun Saudara Ferry Joko Yuliantono, barangkali belum menunjukkan minatnya untuk mencalon presiden, tapi sebagai sebuah hak konstitusional kami tetap memasukkan juga hak untuk dipilih,” ungkap Refly.
Refly menyampaikan pula, pihaknya menemukan 22 permohonan yang terkait dengan pengujian tentang presidential threshold. “Selain itu,… kami melengkapi argumentasi dalam pokok permohonan dengan berusaha semaksimal mungkin melakukan perbandingan. Kami menemukan misalnya, puluhan negara yang kami lihat itu tak ada satu pun yang menerapkan presidential threshold untuk pencalonan,” ujar Refly.
Baca juga:
Politikus Gerindra Uji Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Sebagaimana diketahui, Ferry Joko Yuliantono selaku Pemohon Perkara 66/PUU-XIX/2021 mengujikan Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25 % (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Menurut Ferry, hak memilih (right to vote) adalah hak konstitusional yang merupakan turunan dari hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan (right to participate in government) sebagaimana dijamin Pasal 27, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebanyak paling sedikit perolehan kursi 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya telah terbukti mengurangi atau membatasi hak konstitusional untuk memilih (right to vote) Pemohon dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Oleh karenanya harus dipandang sebagai sebuah kerugian konstitusional.
Pemohon beranggapan, tidak benar masalah ambang batas presiden hanya terkait denganeksistensi partai politik kendati hanya partai politik yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945. “Sejatinya, partai politik hanyalah kendaraan bagi para calon presiden dan calon wakil presiden, sedangkan penerima manfaat utama dari penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah warga negara termasuk Pemohon,” ujar Refly Harun kepada Panel Hakim MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Kamis (6/1/2022).
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.