JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) Kembali menggelar sidang pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) pada Rabu (19/1/2022). Agenda sidang adalah pemeriksaan perbaikan permohonan Nomor 71/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh sepasang suami istri, Johanes Halim (Pemohon I) dan Syilfani Lovatta Halim (Pemohon II).
Kuasa hukum para Pemohon, Eliadi Hulu menyebutkan perbaikan pemohononan dengan memperjelas kedudukan hukum Pemohon II selaku istri dari Pemohon I. Eliadi menuturkan, Pemohon II juga menanggung semua urusan usaha karena Pemohon I telah menjalani penahanan di kepolisian. Dengan demikian, Pemohon II juga memiliki kerugian konstitusional dan memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan perkara ini. Berikutnya perbaikan pada pasal-pasal yang diujikan dengan ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Dalam hal ini, para Pemohon menguraikan dalil dari tiap pasal yang dinilai bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
“Sedangkan untuk Petitum kami pun memperbaikinya. Dengan ini para Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” sampai Eliadi pada sidang yang dipimpin oleh Wakil ketua MK Aswanto bersama dengan Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul dan Enny Nurbaningsih sebagai anggota sidang panel.
Baca juga:
Alami Eksekusi Sepihak dan Penahanan, Suami-Istri Uji UU Jaminan Fidusia
Seperti diberitakan sebelumnya, MK pada Kamis (6/1/2022) menggelar sidang pendahuluan pengujian KUHP dan UU Jaminan Fidusia. Permohonan Nomor 71/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh sepasang suami istri, Johanes Halim (Pemohon I) dan Syilfani Lovatta Halim (Pemohon II).
Para Pemohon menguji Pasal 372 KUHP yang menyebutkan, “Barangsiapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp900,”. Kemudian Pasal 30 UU Jaminan Fidusia yang menyebutkan, “Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.”
Eliadi Hulu selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan norma-norma tersebut tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Sebab berpedoman dari Putusan MK Nomor18/PUU-XVII/2019, yang pada intinya menyatakan penilaian cidera janji harus atas dasar kesepakatan debitur termasuk pula terhadap jaminan fidusia yang ingin dieksekusi harus pula diserahkan secara sukarela. Namun jika debitur keberatan, maka kreditur tidak berhak melakukan eksekusi kecuali atas upaya hukum yang menyatakan debitur telah cidera janji.
“Dari putusan MK tersebut maka debitur berhak untuk melindungi objek jaminan fidusia yang menjadi hak miliknya. Debitur juga berhak untuk melindungi harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, termasuk dengan tidak menunjukkan kepada kreditur objek jaminan fidusia agar terhindar dari eksekusi dan penarikan sepihak,” kata Eliadi yang mengikuti persidangan secara virtual.
Lebih lanjut Eliadi menceritakan para Pemohon justru mengalami eksekusi sepihak yang dilakukan oleh pihak BCA Finance dengan mengambil STNK dan kunci asli dari mobil Toyota Voxy (objek jaminan fidusia). Diakui para Pemohon, pihaknya telah memperoleh Surat Persetujuan Relaksasi untuk penundaan pelunasan cicilan dari jaminan fidusia dan telah pula mengajukan relaksasi kedua kalinya mengingat kondisi ekonomi yang sulit karena dampak pandemi Covid-19. Namun parahnya, pihak BCA Finance justru mempidanakan Pemohon I hingga akhirnya ditahan di Polda Metro Jaya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.