JAKARTA, HUMAS MKRI - Polri bukan sebagai alat pertahanan. Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) yang menyebutkan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum/-serta rnemberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”
Demikian disampaikan oleh Guru Besar Universitas Padjajaran (Unpad) I Gde Panjta Astawa dalam sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) terhadap UUD 1945, pada Selasa (18/1/2022) secara daring. Sidang perkara Nomor 27/PUU-XIX/2021 ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Lebih lanjut Astawa selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah mengatakan, pada saat mobilisasi, Polri sebagai komponen pendukung (komduk) yang dilibatkan dalam dalam sistem pertahanan negara, statusnya ditingkatkan menjadi komponen cadangan (komcad) yang ditujukan untuk memperbesar dan memperkuat komponen utama (komut).
“Namun tidak semua anggota polri ditingkatkan statusnya menjadi komponen cadangan. Hanya anggota polri yang memenuhi syarat secara fisik dan psikis ditingkatkan statusnya menjadi komponen cadangan,” terang Astawa.
Menurutnya, pembantuan Polri kepada TNI sebagai komut didasarkan pada ketentuan Pasal 41 ayat (2) UU Polri yang menyebutkan, “Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
“Kedudukan Polri sebagai komponen pendukung adalah sejalan dengan Pasal 48 protokol tambahan pada kovensi Jenewa 12 Agustus 1949,”terang Panjta.
Dikatakan Astawa, dalam rangka menjamin adanya kepastian hukum, ada keselarasan antara UU PSDN dan UU Polri, UU Pertahanan dan UU TNI yang kesemua UU tersebut merupakan amanat Pasal 30 ayat (5) UUD 1945. Demikian pula sejalan dengan hukum internasional yang mengatur prinsip pembedaan dan melindungi sipil dari konflik bersenjata.
Astawa juga mengatakan, perluasan rumusan ancaman berikut lingkup dan jenis-jenis ancaman dalam UU PSDN merupakan sesuatu yang tidak dihindari. Hal ini karena UU Pertahanan Negara diundangkan pada 2002. Pada periode 2002 sampai diundangkannya UU PSDN relatif banyak terjadi perubahan atau perkembangan terhadap hakikat ancaman yang sangat dinamis.
“Sehingga terbuka kemungkinan terjadinya penggabungan bentuk ancaman saat ini dan di masa yang akan datang berupa ancaman militer, ancaman non militer dan ancaman hybrida sebagaimana yang diatur dalam UU PSDN,” imbuhnya.
Sementara pengamat pertahanan Andi Widjajanto mengatakan UU PSDN bersama UU Polri dan TNI adalah meningkatkan kualitas kendali demokratik yang dalam Huntingtonian disebut objective civilian control memang sepenuhnya dilakukan untuk menghindari penggunaan TNI masuk ke ranah politik yang dalam Huntingtonian disebut subjective civilian control.
Menurut Andi, subjective civilian control terjadi pada saat Orde Baru yang memerintahkan ABRI untuk menjadi bagian kekuatan Golkar melalui salah satu jalur yang terdapat dalam pasal tersebut. Sementara di masa Reformasi, sambung Andi, kita berkomitmen pada Pasal 30 UUD 1945 untuk mencegah adanya kontrol sipil yang subjektif untuk memperkuat kontrol sipil yang objektif atau yang disebut kendali politik.
“Jadi, kendali politik ini membuat yang namanya politik pertahanan itu sangat ketat dan berlapis,” jelasnya.
Lebih lanjut Andi mengatakan, pemerintah dan DPR dalam menyusun UU ini sengaja memilah antara pengunaan terminologi komponen dan kekuatan. TNI disebut sebagai komponen utama sementara rakyat atau warga negara pada saat mendaftarkan diri secara sukarela menjadi komponen cadangan memang mendapatkan pelatihan militer tetapi tidak berstatus komponen utama.
“Warga negara yang mendaftarkan diri yang kemudian mendapat pelatihan militer berstatus komponen cadangan tidak akan menjadi bagian dari komponen utama,” tegas Andi.
Baca juga:
Komponen Cadangan Pertahanan Negara dalam UU PSDN Diuji
Pemohon Perbaiki Uji UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara
DPR: UU Pertahanan Negara Tidak Hanya Mengatur Ancaman Militer dan Nonmiliter
Pandangan Ahli Soal Komput, Komcad, dan Komduk dalam UU PSDN
Najib Azca: Komponen Cadangan Harus Diarahkan Untuk Membantu Komponen Utama
Uji UU PSDN: Mantan Kades Terangkan Klaim Sepihak TNI atas Lahan Urutsewu
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU PSDN diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tiga orang warga. Empat LSM dimaksud adalah Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.
Para Pemohon mengujikan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN.
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (22/7/2021) pagi, para Pemohon melalui kuasa hukumnya Muhammad Busyrol Fuad mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) sekaligus Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Situasi ketidakpastian hukum akibat rumusan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 mutatis mutandis juga berdampak pada kekaburan rumusan norma Pasal 29 UU 23/2019, yang mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida.
“Padahal, pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, yang telah secara eksplisit dan memberikan batasan perihal pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi untuk menghadapi ancaman militer,” ujar Busyrol.
Menurutnya, rumusan pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), pasal 79, pasal 81 dan pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut ia mengatakan, penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
“Secara tegas, pembentuk konstitusi telah eksplisit menyatakan, …Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Pembentuk UUD tidak pernah sekalipun menyebutkan unsur non-manusia (Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Sarana dan Prasarana Nasional) sebagai bagian dari kekuatan utama maupun kekuatan pendukung pertahanan negara,” ungkap Busyrol secara virtual.
Dalam permohonannya, para pemohon juga menyebutkan rumusan pasal 18, pasal 66 ayat (1), pasal 77, Pasal 78, dan pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection. Lebih jauh pengaturan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU PSDN, selain bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.
Rumusan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, juga bertentangan dengan pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena menciptakan situasi ketidakpastian hukum. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PSDN yang menentukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari komponen pendukung tersebut bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945, yang secara jelas menyebutkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan negara.
Kemudian rumusan Pasal 46 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena berseberangan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Karena Pasal 46 UU PSDN disebutkan terhadap mereka komponen cadangan selama masa aktif akan diberlakukan hukum militer, yang juga memiliki arti secara a contrario terhadap mereka komponen cadangan selama masa tidak aktif tidak diberlakukan hukum militer.
Pembedaan status subjek hukum antara komponen cadangan dalam masa aktif dan masa tidak aktif, sesungguhnya bermula dari kerancuan status warga negara yang menjadi komponen cadangan yang berimplikasi pada kekaburan sampai tahap mana rakyat dapat diikutsertakan dalam upaya pembelaan negara, dan berikutnya sejauh mana status hukum dari mereka yang bergabung sebagai komponen cadangan, sebagai kekuatan utama atau bukan.
Selain itu, rumusan pasal 75 UU PSDN bertentangan dengan pinsip pembagian Urusan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, sehingga bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945, juga telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 75 UU PSDN yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusional para Pemohon akibat berlakunya UU PSDN, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU PSDN, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU PSDN masih dalam proses pengujian di MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.