JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (18/1/2022) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 4/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Anita Natalia Manafe yang berprofesi sebagai advokat.
Diwakili kuasa hukum Alvin Lim, Pemohon mendalilkan, hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh undang‑undang yang diuji dengan dikeluarkannya surat pemberitahuan penghentian penyelidikan. Dengan alasan penghentian penyelidikan bukan merupakan tindak pidana, maka hak kepastian hukum yang dimiliki Pemohon dilanggar. Karena penghentian penyelidikan tersebut tidak pernah tercantum sebagai wewenang penyelidik sesuai KUHAP, sehingga kepastian hukum tidak bisa didapatkan.
“Penghentian penyelidikan tidak ada dan tidak tertera dalam salah satu wewenang penyelidik yang tertera dalam Pasal 5 KUHAP sehingga dapat digunakan pihak kepolisian melanggar hukum formil dengan melakukan penghentian penyelidikan dalam tahap penyelidikan dengan melakukan sesuatu yang tidak tertera sebagai sebagai kewenangannya dalam KUHAP,” tegas Alvin.
Kemudian Pemohon juga mendalilkan kedudukan hukumnys selaku perorangan dan individu pribadi yaitu sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang dibuktikan dengan memiliki KTP, akta Kelahiran, kartu keluarga, dan persyaratan administrasi kependudukan lainnya layaknya seorang WNI.
“Walaupun Pemohon seorang advokat, tetapi bukan mengajukan legal standing sebagai seorang advokat. Melainkan sebagai individual dan sebagai seorang warga negara yang baik,” kata Alvin kepada Panel Hakim MK yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Nasihat Hakim
Ketua Panel, Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan kepada Pemohon terkait penyidikan. “Kalau penyidikan memang sudah berhubungan dengan prinsip-prinsip pro justitia, sudah melakukan banyak upaya paksa perampasan kemerdekaan, baik orang maupun barang, sehingga harus dibatasi, supaya orang itu tidak kemudian teraniaya. Orang itu kemudian tidak terzalimi dalam waktu yang terlalu lama, sehingga harus segera ada kepastian. Makanya yang namanya menahan orang, pertama 20 hari, kemudian diperpanjang 30 hari, semua ada batasannya karena sudah berkaitan dengan perampasan kemerdekaan orang yang tidak boleh berlama-lama orang itu tertindas hak asasinya tanpa kepastian. Apalagi KUHAP menganut prinsip praduga tidak bersalah. Itu secara substansial ya,” tegas Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adam mengingatkan Pemohon mengenai pentingnya keselarasan antara pokok perkara dan petitum. “Ini perlu Saudara perhatikan betul-betul. Karena kalau tidak keliru bahwa Pemohon ingin menambahkan kewenangan penyidik berupa penyidik tidak boleh diberi kewenangan untuk menghentikan penyelidikan,” kata Wahiduddin.
Berikutnya, Wahiduddin menanggapi bahwa dalam permohonan, Pemohon pernah mengajukan keberatan secara formil terhadap kepolisian. “Oleh sebab itu, coba nanti
dipikir, ini apakah normanya yang menjadi persoalan atau karena implementasinya?” ucap Wahiduddin.
Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mencermati sistematika permohonan Pemohon. “Saudara sebenarnya sudah mengutip Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 ya. Di situ sudah ada sistematikanya dalam mengajukan permohonan pengujian undang‑undang. Hanya ketika dituangkan di sini, ini yang memang nanti harus cermat, hati‑hati, termasuk kemudian enggak usah ditambahkanlah di sini mengenai persyaratan formulir pengajuan. Langsung saja pada sistematika yang sudah baku itu dibuat Kewenangan Mahkamah terlebih dahulu,setelah perihalnya jelas. Kewenangan Mahkamah juga dibuatnya jangan diulang‑ulang, ya Pak Alvin,” tandas Enny.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P