JAKARTA, HUMAS MKRI – Syarat ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold), kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan kali ini diajukan oleh Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra.
Sidang pendahuluan untuk memeriksa permohonan para Pemohon digelar di MK pada Senin (17/1/2022) secara daring. Dalam permohonan perkara yang diregistrasi Nomor 6/PUU-XX/2022 para Pemohon mengujikan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Ahmad Yani selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan kedudukan hukum para Pemohon yaitu sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang- undang ini. Pemohon ini tidak mengatasnamakan Dewan Perwakilan Daerah, tapi atas nama orang perorangan Warga Negara Indonesia,” kata Ahmad Yani kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dalam konstruksi normatif, menurut para Pemohon, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan dua kepentingan secara berbarengan, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagai hak konstitusional warga negara yang selama ini jadi roh pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam pengujian norma undang-undang dalam ranah pemilihan umum.
Pemberlakuan pasal tersebut telah mengakibatkan secara langsung maupun tidak langsung, atau setidak-tidaknya potensial merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon untuk mempunyai lebih banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hak konstitusional para Pemohon sebagai rakyat pemilih yang sudah dijamin dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 untuk secara langsung memilih pasangan capres dan cawapres itu dibatasi oleh syarat ambang batas pengusulan yang senyatanya tidak ada dasarnya menurut UUD 1945.
Para Pemohon berpendapat, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bukan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) melainkan kebijakan hukum yang telah ditentukan secara eksplisit oleh UUD 1945 dan tidak diberikan delegasi kepada undang-undang. Adapun pemberian delegasi kepada pembuat undang-undang adalah mengenai tata cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945.
Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang menggunakan hasil pemilu legislatif pada lima tahun sebelumnya merupakan aturan yang tidak sesuai dan tidak logis dengan gagasan Pemilu serentak. Terlebih lagi tidak terdapat negara dengan sistem presidensial yang menggunakan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) seperti yang dipraktikkan di Indonesia.
Kedudukan Hukum
Terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon, Ketua Panel Hakim Aswanto menyarankan para Pemohon agar mempelajari Putusan MK Nomor Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020. Dalam Putusan tersebut, dijelaskan jelas bahwa Pemohon yang memiliki legal standing untuk mengujikan Pasal 222 (presidential threshold) adalah partai politik.
“Silakan dielaborasi kembali pada bagian legal standing untuk meyakinkan Mahkamah bahwa tidak hanya partai politik yang punya legal standing dalam kaitannya dengan presidensial threshold,” kata Aswanto.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pun menyoroti masalah legal standing para Pemohon. Enny juga menyarankan agar para Pemohon menguraikan syarat kerugian konstitusionalnya.
“Ini syarat kerugian konstitusionalnya belum nampak,” kata Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menasehati para Pemohon agar mempelajari Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 mengenai sistematika permohonan dan lainnya. Manahan juga meminta para Pemohon mencantumkan norma yang lengkap dalam kedudukan hukum.
“Bagaimana kita bisa menilai dasar pengujian yang sudah disebutkan dalam permohonan, padahal norma aslinya belum ditunjukkan,” kata Manahan.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.