JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara Nomor 5/PUU-XX/2022 tersebut dimohonkan oleh Lieus Sungkharisma. Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (17/1/2022), Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih (right to vote) dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Manahan MP Sitompul, Lieus yang hadir secara daring mengatakan, Pasal 222 UU Pemilu mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional” bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.
“Kita ini bertarungnya seperti musuhan yang mana pada 2019 hanya terdapat calon dua orang saja. Saya ini menjadi korban karena saya ikut menjadi juru kampanye nomor 2 ditangkap karena dituduh makar. Itu saya merasa benar. Kenapa saya bisa dituduh begitu karena pertarungan dua kelompok ini begitu keras. Kenapa hanya dua? Saya lihat calonnya sudah tidak ada lagi. Bukan kita tidak mau lihat calon-calon lain jadi permusuhannya terlalu tajam. Nah sekarang untuk 2024 sekarang yang ikut kelompok pak Jokowi itu 82% terdiri dari tujuh partai politik dan dua partai lainnya tidak cukup,” jelas Lieus yang hadir tanpa kuasa hukum.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal, syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Pembatasan tersebut, yakni diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum; dan diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Dengan demikian, sambung Lieus, keberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) tidak memenuhi kedua syarat tersebut. Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden. Menurut Pemohon, secara konseptual konstruksi normatif Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 meletakkan 2 (dua) kepentingan secara bersamaan, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagai hak konstitusional warga negara. Sehingga, lanjutnya, inkonstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu juga berkolerasi pada pelanggaran hak konstitusional Pemohon, yaitu mendapatkan sebanyak-banyak pilihan pemimpin yang akan menyelenggarakan pemerintahan (calon presiden dan calon wakil presiden) pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Lebih lanjut, Pemohon juga mengatakan, suatu hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional (constitutional right) tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah (undang-undang). Ketentuan Pasal 222 UU Pemilu menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR dan Pemilihan Umum Presiden dilaksanakan secara serentak pada Tahun 2024, maka mutatis mutandis pemberlakuan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi tidak relevan lagi. Hal tersebut karena praktis basis suara yang dipergunakan dalam memenuhi syarat dukungan calon presiden dan wakil presiden diperoleh dari pemilih yang telah meninggal dunia.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon agar Mahkamah mengabulkan permohonannya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Perbaikan Permohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun nasihat yang diberikan, yakni Pemohon untuk melengkapi kewenangan MK dengan mengubah UU MK yang baru. Selain itu, Manahan juga mengatakan pada kedudukan hukum, Pemohon perlu menjelaskan kedudukannya sebagai Warga Negara Indonesia berdasarkan hak untuk memilih.
Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Pemohon untuk menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dialami. “Jadi, kalau tidak ada kerugian, itu tidak bisa diberikan kepada bapak (permohonannya untuk) dikabulkan. Harus dijelaskan kerugian faktual. Setidak-tidaknya kerugian potensialnya itu harus jelas,” tegas Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan bahwa Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Selambatnya perbaikan permohonan diterima Kepaniteraan MK pada Senin, 31 Januari 2022. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim