DENPASAR, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjadi pemateri Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan V secara virtual pada Minggu (16/1/2022) siang. Kegiatan ini merupakan kerja sama DPC Peradi Jakarta Barat dengan Universitas Bina Nusantara.
Memulai pertemuan, Manahan menjelaskan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). “Kewenangan pertama MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” ujar Manahan yang memaparkan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”.
Kewenangan kedua MK, kata Manahan, adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD. Kewenangan MK berikutnya adalah memutus pembubaran partai politik. Selain itu MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK, ungkap Manahan, memutus pendapat DPR mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah melakukan pelanggaran hukum, melakukan perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. “Inilah yang sering disebut sebagai impeachment atau pemakzulan,” ucap Manahan.
Kemudian ada satu tambahan yang menjadi kewenangan MK yaitu memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada). Kewenangan tambahan ini bukan berasal dari konstitusi, tetapi dari UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Dalam UU Pilkada disebutkan, sebelum terbentuk peradilan khusus soal penanganan perkara perselisihan hasil pilkada, maka kewenangan itu diberikan kepada MK. Seluruh kewenangan MK tersebut sesuai dengan Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Tidak Ada Lawan
Manahan melanjutkan, ketika MK menjalankan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, sifat perkaranya tidak ada para pihak. Artinya, ada Pemohon tetapi tidak ada Termohon atau Tergugat. ”Tidak ada lawan,” ucap Manahan.
Berbeda ketika MK menjalankan kewenangan-kewenangannya selain menguji undang-undang, sifat perkaranya ada pihak Pemohon dan Termohon, ada sengketa kepentingan. Manahan lebih lanjut menerangkan secara rinci seluruh kewenangan MK. Dalam pengujian undang-undang terhadap UUD, terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
“Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Manahan.
Manahan juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK. Antara lain karena adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. Kerugian konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial berdasarkan penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Kemudian, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Adapun yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK, jelas Manahan, adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Manahan juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Manahan. terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Persidangan MK
Lebih lanjut Manahan mengupas tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu, ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK.
Tahap berikutnya, sambung Manahan, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Kemudian tahap akhirnya adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK, ujar Manahan, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.