JAKARTA, HUMAS MKRI – Kegiatan Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies (ACICIS) Virtual Field Trip dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) berlangsung pada Kamis (13/1/2022). Peneliti Muda MK M. Lutfi Chakim menerima kunjungan sebanyak 35 mahasiswa dan 5 staf pendamping dari ACICIS secara daring dan menyampaikan materi “Organization, Authorities, and Decisions of The Indonesian Constitutional Court”.
Lutfi Chakim menerangkan sistem hukum Indonesia yang mewarisi pengaruh hukum Islam, hukum adat dan lokal, maupun hukum peninggalan kolonial Belanda yang menduduki Indonesia selama 350 tahun. “Sistem hukum Indonesia ternyata begitu kompleks,” ujar Lutfi mengawali pertemuan.
Dikatakan Lutfi, pengaruh Islam melalui Al-Qur’an dan hadist diterapkan di Provinsi Aceh, seperti hukum keluarga, hukum perdata, pengadilan, pendidikan dan lain-lain yang lebih jauh diatur di bawah Qanun Aceh.
“Sistem hukum Indonesia juga dipengaruhi hukum lokal dan tradisional nusantara, berdasarkan norma-norma masyarakat adat lokal. Adanya hukum adat di beberapa daerah, misalnya hukum keluarga, hukum waris dan hukum pertanian,” jelas Lutfi.
Selain itu, pengaruh warisan kolonial Belanda ikut mewarnai sistem hukum Indonesia, dengan masih digunakannya perundang-undangan yang berlaku sampai sekarang. Contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Berikutnya, Lutfi menyinggung mengenai hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Model Pengujian Undang-Undang
Lutfi juga memaparkan model pengujian undang-undang secara umum, yakni model pengujian undang-undang secara desentralisasi dan model pengujian undang-undang secara sentralisasi. Model pengujian undang-undang secara desentralisasi dikenal juga dengan sebutan Model Amerika, yang menerapkan model ini antara lain Amerika Serikat, Australia, Kanada dan Filipina. Pada model ini, fungsi Mahkamah Konstitusi dilaksanakan dalam satu badan yaitu Mahkamah Agung, tidak berdiri sendiri.
Sedangkan model pengujian undang-undang secara sentralisasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri dan terpisah dengan Mahkamah Agung. Model ini biasa disebut juga Kelsenian Model, diterapkan di Austria, Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan dan Turki, termasuk Indonesia. Putusan dari model Mahkamah Konstitusi semacam ini bersifat erga omnes.
Kewenangan MKRI
Lebih lanjut, Lutfi menjelaskan secara gamblang mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini MKRI. Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD, kemudian memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan tercela.
Sedangkan fungsi Mahkamah Konstitusi itu sendiri, kata Lutfi, sebagai Pengawal Konstitusi, menjadi Penafsir Akhir dari Konstitusi, Pelindung Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Pengawal Demokrasi, serta Pelindung Hak-Hak Asasi Manusia.
Mengenai landmark decision dari MKRI, menurut Lutfi, tercatat antara lain Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tentang privatisasi ketenagalistrikan; Putusan MK No. 011/PUU-III/2005 tentang alokasi anggaran pendidikan 20 persen; Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden; Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 tentang konstitusionalitas hukuman mati; Putusan MK No. 29/PUU-V/2007 tentang sensor film; Putusan MK No. 13/PUU-VI/2008 tentang Anggaran Pendidikan; Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang perlindungan anak di luar perkawinan.
Lainnya, Lutfi menerangkan mengenai tahap-tahap persidangan di MKRI, mulai dari sidang pendahuluan dengan agenda pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dalam sidang panel oleh tiga hakim konstitusi. Terhadap permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 14 hari MK memberi kesempatan untuk dilakukan perbaikan atau kelengkapan. Karena pada hakikatnya bukan sengketa kepentingan, maka undang-undang mewajibkan Mahkamah melalui hakim panel memberikan nasehat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya.
Setelah sidang pendahuluan, ada sidang perbaikan permohonan. Kemudian kalau permohonan berlanjut berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK, maka akan diteruskan menuju sidang pleno atau pembuktian dengan menghadirkan Pemerintah, DPR, ahli maupun saksi-saksi. Selanjutnya, permohonan Pemohon kembali dibahas dalam RPH, hingga akhirnya dilakukan sidang pengucapan putusan. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P