JAKARTA, HUMAS MKRI - Sifat putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak dapat disamakan dengan sifat putusan final dan mengikat yang dimiliki lembaga peradilan pada umumnya. Hal tersebut karena DKPP bukan merupakan lembaga peradilan. Demikian keterangan Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan dalam sidang uji materiil UU Pemilu. Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/1/2022) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR.
Baca juga: Anggota KPU Persoalkan Konstitusionalitas Sifat Final dan Mengikat Putusan DKPP
Dalam keterangannya, Arteria mengatakan sifat final dan mengikat dari putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kab/Kota maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.
“Walaupun putusan DKPP bersifat final dan mengikat, tetapi tetap perlu ditindaklanjuti dan dibuat suatu produk hukum berupa keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final yang dapat menjadi objek di peradilan TUN,” ujar Arteria dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Pemerintah: Sifat Putusan Final dan Mengikat DKPP Berbeda dengan Lembaga Peradilan
Lebih lanjut Arteria mengatakan, implikasi dari putusan DKPP tidak dapat dieksekusi, namun putusan tersebut harus ditindaklanjuti oleh penyelenggara pemilu yang lain—dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Sementara terkait keputusan KPU dan Bawaslu yang memberhentikan anggotanya atau pemecatan dan pemberhentian akibat putusan DKPP, Arteria menyebut hal tersebut dapat ditinjau ke lembaga peradilan. Sehingga apabila pihak KPU mengeluarkan surat pemberhentian anggotanya akibat adanya putusan DKPP, maka pihak yang merasa dirugikan atas putusan KPU atau Bawaslu tersebut dapat menguji putusan DKPP ke peradilan administrasi—dalam hal ini PTUN. “Keputusan KPU atau Bawaslu yang menindaklanjuti putusan DKPP dapat dipersengketakan di PTUN,” tegasnya.
Selain itu Arteria juga mengatakan, sebelum memutus, DKPP telah melaksanakan beberapa rangkaian dengan memeriksa terlebih dahulu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 458 hingga 459 UU Pemilu seperti diatur dalam 159 ayat (2) juncto 458 ayat (10) UU Pemilu seperti melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut baik mendengarkan pengaduan, pembelaan dan memeriksa bukti-bukti lainnya in casu Pemohon telah memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan pada pemeriksaan DKPP.
Baca juga: Ahli: DKPP Merupakan Pengawas Penyelenggara Pemilu, Bukan Lembaga Peradilan
Sebelumnya, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam UU Pemilu. Keduanya mendalilkan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11), ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu.
Untuk itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa “putusan” sebagai conditionally constutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai “keputusan” yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim