JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan pelaksanaan pemungutan suara serentak nasional untuk Pilkada dilaksanakan pada November 2024 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) diuji secara materiil. Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 67/PUU-XIX/2021 tersebut.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (10/1/2022), para Pemohon yang diwakili oleh Ahmad Irawan dan Zain Maulana Husein, menyatakan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU Pilkada merugikan hak konstitusionalnya. Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”. Sementara Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada menyebutkan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Para Pemohon menyebutkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945.
Dalam permohonannya, Pemohon I disebutkan pernah mencalonkan diri sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Intan Jaya pada 2017. Ia yang pernah mengikuti Pilkada Intan Jaya 2017 mengatakan seharusnya Bupati yang terpilih pada 2017, maka masa jabatannya berakhir pada 2022. Jika Pilkada Serentak digelar pada November 2024, maka terdapat kekosongan jabatan selama dua tahun. Dalam persoalan dirinya yang nantinya ingin mencalonkan diri pada pesta demokrasi daerah tersebut, harus menunggu 7 tahun sampai kemudian dapat kembali mencalonkan diri. “Hal tersebut berpotensi merugikan karena kekosongan jabatan tersebut akan diisi oleh pejabat hingga terpilihnya kepala daerah baru pada 2024,” kata Irawan yang hadir bersama prinsipal secara virtual.
Sementara itu, Pemohon II yang memiliki hak pilih dan menggunakan hak tersebut pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tolitoli pada 2015 dan 2020 berpendapat terhadap pilihannya pada Pilkada 2020, maka pimpinan daerah yang terpilih hanya menjabat empat tahun. Padahal masa jabatan tersebut telah diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh sebab itu, para Pemohon melihat mekanisme pemotongan masa jabatan atau mengundurkan diri berpotensi mengurangi kualitas demokrasi pemilihan kepala daerah tersebut. Selain itu, hal demikian juga memberikan dampak negatif pada kualitas pelayanan publik di daerah.
Untuk itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah Menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bila tidak dimaknai masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama 5 (lima) tahun sehingga harus menjabat sampai dengan Tahun 2025 atau menjabat 5 (lima) tahun sejak dilantik.
“Menyatakan frasa ‘nasional’ dan frasa ‘pada bulan November 2024’ di dalam Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘serentak pemilu lokal dan dilaksanakan sesuai dengan akhir masa jabatan’,” tandas Irawan.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Suhartoyo sebagai ketua didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Manahan M.P. Sitompul sebagai anggota memberikan saran perbaikan. Dalam nasihat Majelis Sidang Panel ini, Hakim Konstitusi Arief mengatakan agar para Pemohon dalam permohonannya untuk memperhatikan kaitan Peraturan MK Nomor 2/2021 yang terbaru yang membahas pemilu dengan kewenangan Mahkamah dalam menguji perkara ini. Berikutnya Arief meminta para Pemohon meninjau kembali Putusan MK berkaitan dengan pilkada dan rezim pilkada. Selanjutnya sehubungan dengan kedudukan hukum para Pemohon, Arief menilai tidak secara langsung hak konstitusionalnya terlanggar oleh norma yang diujikan.
“Namun jika berpendapat berbeda, maka diharapkan dapat menjelaskan kedudukan hukum pihaknya. Sebab, yang paling dirugikan adalah pejabat yang menjabat saat ini yang periodenya akan berakhir jelang Pilkada Serentak 2024. Sementara para Pemohon tidak secara langsung dirugikan,” jelas Arief.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Manahan menyebutkan jika kedudukan Pemohon I memiliki hak untuk dipilih yang melekat padanya dapat dijelaskan secara lengkap, terutama Pemohon I pernah mencalonkan diri sebagai kepala daerah. “Untuk itu, diharapkan dapat menguraikan keinginan untuk mencalonkan diri dan masih memenuhi syarat untuk mengikuti Pilkada Serentak 2024 nantinya. Sehingga terlihat bentangan kerugian konstitusional yang setidaknya potensial terlanggar hak-haknya,” kata Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar Pemohon I dan II menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami sebagai yang berhak dipilih dan memilih. Khusus pula untuk Pemohon II dapat saja mengalami kerugian yang potensial karena adanya kekosongan pemimpin daerah selama masa tunggu pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Untuk itu, para Pemohon dapat memilih argumentasi yang dapat benar-benar menguatkan dalil konstitusionalitas norma dalam perkara ini. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Andhini SF