JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/1/2022) secara daring. Agenda sidang Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 ini adalah mendengarkan keterangan dua orang saksi yang dihadirkan Presiden.
Pakar Material Konverter Energi, Prof. Dr. Sutikno, ST, MT, menyampaikan hasil penilaian terhadap karya ilmiah Pemohon terkait kenaikan pangkat profesi Pemohon. Penilai pertama adalah Prof. Dr. Ir. Yanuarsyah dari ITB. Hasil penilaian, syarat artikel jurnal bereputasi tidak memenuhi kriteria pedoman operasional penilaian angka kredit tahun 2014. Rekomendasinya adalah tidak disetujui, dalam sistem terbaca ditolak. Penilai kedua adalah Prof. Dr. Syamsul Anwar, Msi dari Undip. Hasil penilaian juga tidak disetujui, terbaca di sistem adalah ditolak. Penilai ketiga adalah Prof. Dr. Sutikno.
“Karya ilmiah tersebut tidak sesuai dengan kriteria Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit 2019 dan tidak memenuhi kriteria jurnal internasional bereputasi. Artikel harus ditulis dengan etika kaidah ilmiah dan etika keilmuan,” urai Sutikno kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman secara daring.
Hal lain agar karya ilmiah dianggap memenuhi syarat, kata Sutikno, unsur-unsur dari artikel atau karya ilmiah harus lengkap. Dalam arti, harus meliputi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan, metodologi, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan daftar pustaka, semuanya harus lengkap dan runtut.
“Karya ilmiah juga harus mengandung kebaruan. Pada karya ilmiah Pemohon terlihat beberapa temuan. Misalnya, penulisan daftar pustaka tidak konsisten, kosa kata yang kurang lengkap, deskripsi rumusan masalah kurang lengkap, tidak sesuai dengan rujukan kalau melihat sumber aslinya,” jelas Sutikno.
Usulan Jabatan Guru Besar
Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kemendikbudristek, Dr. Muhammad Sofwan Effendi dalam keterangannya menyatakan usulan kenaikan jabatan akademik untuk pangkat lektor kepala dan profesor harus diusulkan oleh perguruan tinggi, yang berjenjang melalui prodi, fakultas, perguruan tinggi yang selanjutnya diajukan ke Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Ristek melalui laman pak.kemdikbud.go.id.
“Setelah itu, dilakukan verifikasi data dan distribusi usulan sesuai bidang rumpun keilmuan untuk dilakukan evaluasi oleh tim penilai pusat,” ucap Sofwan Effendi.
Terkait dengan waktu, ungkap Sofwan, Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kemendikbudristek memiliki layanan untuk penilaian lektor kepala maksimal 14 hari kerja untuk di Pendidikan Tinggi (Dikti).
“Sedangkan untuk layanan penilaian profesor selama 55 hari kerja sejak usulan kami terima, sampai ditetapkan angka kreditnya,” imbuh Sofwan.
Kemudian terkait dengan materi pengujian undang-undang yang sedang dibahas saat ini, ujar Sofwan, pihaknya merujuk pada Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti No. 1142/D1/KP/2016 tentang Usul Kenaikan Jabatan Akademik Dosen ke Guru Besar/Profesor, mengenai himbauan agar pengusulan kenaikan jabatan akademik minimal dua tahun sebelum batas usia pensiun. Sedangkan edaran terbaru dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 166/E.E4/K8/2020 tanggal 28 Februari 2020 tentang Usul Kenaikan Jabatan Akademik Dosen ke Guru Besar/Profesor, menyatakan usulan kenaikan jabatan akademik ke lektor kepala dan profesor, maksimal satu tahun sebelum batas usia pensiun. Hal itu berlaku sejak Januari 2021.
Baca juga:
Dosen FMIPA UI Uji Ketentuan Pengangkatan Guru Besar
Dosen FMIPA UI Perbaiki Permohonan Uji Materi Aturan Pengangkatan Guru Besar
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji UU Guru dan Dosen
Yusril: Tak Ada Standar Nasional Penetapan Jenjang Jabatan Akademik
Dua Ahli Pemerintah Jelaskan Soal Pengangkatan Profesor
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU GD dajukan oleh Sri Mardiyati. Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun usulan tersebut ditolak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU GD, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh Menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU GD disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
Menurut Pemohon, dalam praktiknya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU GD diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU GD. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.