JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang kedelapan Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 tersebut berlangsung pada Kamis (6/1/2022) di Gedung MK secara virtual.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, para Pemohon menghadirkan saksi mengenai penggunaan ganja untuk kepentingan, yakni P. Ridanto Busono Raharjo yang mengidap nyeri neuropatik kronis. Ridanto mengalami kecelakaan sejak 1995 yang mengakibatkan tangan kanannya mengalami kelumpuhan dan nyeri hingga saat ini. Ia menerangkan bahwa dirinya menggunakan ganja untuk meredakan rasa nyeri sebagai efek samping dari kecelakaan yang dialaminya sejak 1996.
“Efek ketika saya menggunakan ganja saya merasa rileks. Penderitaan nyeri kronis kategori neuropatik seperti saya ini merasakan rasa nyeri yang intensif. Hampir seluruh tubuh saya, kesadaran, otot setiap saat harus mengantisipasi rasa nyeri setiap saat dengan frekuensi yang tinggi. Ketika saya menggunakan ganja, saya menjadi rileks dan saya menghadapi rasa rileks dengan tenang,” ujar Ridanto.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Penggunaan Narkotika Golongan I Untuk Kepentingan Medis
Menurut Ridanto, tidak ada satupun pengobatan yang dapat mengatasi rasa nyeri. Pengobatan yang diterimanya hanya berfokus pada pengobatan kelumpuhan pada tangan kanannya saja. Padahal, Ridanto menyebut dampak yang paling mengganggu baginya adalah rasa nyeri, meski telah mengkonsumsi obat-obatan legal. Namun, Ridanto mengatakan, obat-obatan yang ia konsumsi tersebut menimbulkan dampak atau efek lain pada kondisi fisiknya. Ia menyebut hampir tidak ada obat-obatan yang dapat memberikan penanganan secara memuaskan untuk peredaan nyeri. Sehingga, ia berharap, ke depannya mendapatkan UU Narkotika yang lebih rasional dan selaras dengan ideologi Pancasila.
Baca juga: DPR Sebut Legalisasi Ganja untuk Medis Berbeda di Setiap Negara
Sebelumnya, Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Sebagai informasi, Dwi Pertiwi sebagai salah seorang ibu yang menjadi Pemohon, terungkap pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. Akan tetapi, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut telah secara jelas, menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.
Kemudian, Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari P
Humas : M. Halim