MATARAM, HUMAS MKRI – Sejak zaman penjajahan hingga sekarang, peran pemuda dan pelajar tidak pernah lepas dalam era dan masanya. Tepatnya 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II telah menjadi pemicu lahirnya Sumpah Pemuda. Sumpah yang bukan hanya menjadi penanda bersatunya pemuda nusantara, tetapi juga momentum bersejarah bagi perjalanan bangsa yang sedang bergejolak menuju kesamaan visi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
“Sebuah awal bagi pembentukan identitas nasional yakni Pancasila, tergali secara otentik dari pengalaman hidup bersama,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam Seminar Nasional “Membentuk Karakter Pelajar Pancasila” pada Kamis (30/12/2021) di Kampus FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM) sebagai kerja sama MK dengan FKIP UMM.
Mengutip Fukuyama
Dikatakan Anwar, meski generasi berganti, namun semangat sebagai anak bangsa untuk memperbarui semangat sebangsa dan tanah air yang satu tetap bertahan, bahkan harus meningkat. Tanpa semangat untuk berbangsa dan bertanah air yang satu, bangsa Indonesia akan kehilangan sebuah elemen penting kebangsaan, yaitu identitas nasional. Sudah banyak ahli yang mengingatkan pentingnya identitas nasional bagi negara bangsa, sebagaimana yang pernah dituliskan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul “Identity” yang ditulis pada 2018. Beliau mengatakan bahwa identitas nasional berperan besar bagi keutuhan suatu bangsa. Tanpa kesatuan dan kejelasan identitas nasional, suatu bangsa akan berpotensi mengalami kekacauan dan disintegrasi sosial. Karena itulah, Indonesia harus memperkuat identitas, sebagai bangunan dasar dan ideologi pemersatu negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Di antara beragam fungsi identitas nasional yang dikemukakan Fukuyama, ada tiga fungsi yaitu fungsi keamanan fisik; fungsi tingkat kepercayaan, dan fungsi memperkokoh demokrasi agar berjalan aktif dan efektif. Identitas nasional yang kokoh diperlukan sebagai alat memperkuat stabilitas negara, agar tidak mengalami disintegrasi bangsa. Selain itu, identitas nasional juga mampu mendorong tingginya kepercayaan publik (public trust), yang pada akhirnya akan bermuara pada aktifnya partisipasi politik warga negara.
“Ini berarti, negara demokrasi yang saat ini kita perjuangkan, memerlukan adanya suatu identitas nasional yang utuh. Kita sangat beruntung, Tuhan yang Maha Esa mengaruniakan kepada kita semua Pancasila, ideologi yang mampu tetap bertahan, mengikat negara yang besar dan ber-bhinneka, serta mampu menjadi nilai dasar dan pedoman kehidupan bersama seluruh warga negara,” tegas Anwar.
Kultur Islam
Anwar melanjutkan, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Oleh karena itu, adat, budaya serta kebiasaan masyarakat tidak terlepas dari kultur Islam. Meskipun Indonesia bukan negara Islam atau negara yang berdasarkan agama, namun nilai-nilai agama Islam tetap tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi.
Sebagai contoh, kata Anwar, lahirnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa oleh para pendiri negara, dirumuskan dalam situasi kuatnya hegemoni pemikiran dan pandangan hidup bangsa-bangsa dari berbagai negara, termasuk pandangan hidup tentang agama Islam. Saat itu, bahkan hingga saat ini, kehidupan global tak dapat melepaskan diri dari paham sekularisme, kapitalisme, dan liberalisme dan agama yang menguasai mayoritas pandangan hidup di berbagai negara. Pengaruh dan hegemoni pandangan hidup bangsa dari berbagai negara tersebut tercermin dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang mengatakan setiap negara memiliki pandangan hidup bangsa masing-masing yang menjadi dasar bagi negaranya.
Para pendiri negara Indonesia, berusaha untuk merumuskan nilai-nilai yang sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang akhirnya saat ini kita kenal dengan Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bukanlah sekadar falsafah negara yang tidak melekat dengan konstitusi Indonesia, Pancasila justru merupakan nilai-nilai dasar yang harus dijabarkan dalam setiap rumusan norma UUD 1945. Pancasila sejatinya merupakan ijtihad dari para tokoh muslim ketika perjuangan kemerdekaan saat itu. Bahkan banyak tokoh dan cendekiawan yang menyatakan, jika Pancasila merupakan hadiah terbesar dari umat Islam dan tokoh Islam bagi Republik ini.
“Kita tentu masih ingat akan sejarah pembentukan Pancasila, yang semula bernama Piagam Jakarta. Ketika itu pada sila pertama berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan sila pertama Pancasila tersebut, pada akhirnya menghilangkan tujuh kata ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta menghargai dan menghormati warga negara Indonesia lainnya dari kelompok yang beragama nonmuslim. Jiwa besar umat Islam inilah yang dinilai banyak kalangan, memiliki nilai kebangsaan yang sangat tinggi,” papar Anwar.
Bahkan, ungkap Anwar, perumusan nilai Pancasila yang menjadi dasar-dasar norma konstitusi tersebut, oleh para cendikiawan muslim, memiliki kemiripan dengan Perjanjian Hudaibiyah di masa Nabi Muhammad SAW. Perjanjian Hudaibiyah dibuat pada 628 Masehi, bermula ketika kaum muslimin di Madinah ingin menunaikan ibadah haji di Baitullah Mekah. Kaum Quraisy Mekah saat itu belum menganut agama Islam, sehingga mereka beranggapan bahwa kedatangan umat muslim dari Madinah ke Mekah bertujuan untuk melakukan penyerangan terhadap kaum Quraisy. Pertemuan kaum muslim dari Madinah dan kaum Quraisy di Mekah inilah yang akhirnya berujung kepada dibuatnya perjanjian Hudaibiyah tersebut. Kaum muslim dari Madinah yang diwakili oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy di Mekah yang diwakili oleh Suhail bin Amr yang melakukan perundingan yang sangat alot.
“Nabi Muhammad SAW dalam melakukan perundingan, sangat lembut dan bijaksana. Bahkan kelembutan Nabi Muhammad SAW oleh beberapa sahabat dinilai terlalu longgar dan mengalah. Padahal ketika itu, dengan jumlah kaum muslimin yang begitu banyak dan pasukan perang yang terlatih, tidak sulit bagi umat muslim Madinah untuk menundukkan kaum Quraisy dalam waktu yang singkat dengan cara kekerasan. Namun, Nabi Muhammad SAW lebih memilih bersikap lembut, bersabar dan mengalah di dalam melakukan perundingan,” ucap Anwar.
Namun ketika perjanjian hendak dimulai dengan kalimat, “Bismillahirahmanirahim”, kalimat ini tidak disetujui oleh Suhail dengan alasan bahwa, nama “rahman dan rahim” bukanlah nama yang dikenal oleh kaumnya dari bangsa Quraisy, sehingga kalimat tersebut berubah menjadi, “bismikallahuma” dengan namaMu ya Allah. Begitu pula ketika perjanjian hendak disetujui oleh keduanya, Suhail menolak kalimat “Muhammad Rasulullah” karena kaum Quraisy saat itu tidak mengakui bahwa Muhammad adalah Rasulullah, sehingga kalimatnya diubah menjadi “Muhammad bin Abdullah”.
Kelembutan sikap dan kesabaran Nabi Muhammad SAW ini, sambung Anwar, pada akhirnya membawa hikmah yang sangat besar. Salah satu hikmah besar tersebut adalah dakwah Islam ke seluruh pelosok nagara Arab menjadi mudah menyebar. Jika saat itu penggunaan kekuatan dan kekerasan dilakukan saat dilakukannya perundingan, ini akan berakibat buruk pada syiar dan penyebaran agama Islam.
Begitu pula halnya dengan perundingan Pancasila yang dilakukan oleh para tokoh muslim ketika itu. Meski jumlah umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, namun karena semangat persatuan dan kebangsaan, maka umat muslim tidak segan untuk mengalah demi terwujudnya rasa kebersamaan sebagai sesama anak bangsa.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.