TASIKMALAYA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra memberikan Kuliah Umum “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Sistem Ketatanegaraan dan Demokrasi Indonesia” pada Rabu (22/12/2021) siang di Kampus Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS).
Mengawali kuliah yang memadukan antara daring dan luring ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo menerangkan kewenangan-kewenangan MKRI. “Saya agak kaget mengetahui UMTAS tidak memiliki fakultas hukum, tetapi tetap mengajarkan mata kuliah Pancasila. Tapi menurut saya, antara Pancasila dan ilmu hukum merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pancasila itu justru merupakan nenek moyangnya hukum, undang-undang. Ketika ada norma undang-undang bertentangan dengan ruh dalam Pancasila, berarti hal ini lebih dari bertentangan dengan konstitusi,” jelas Suhartoyo.
Selanjutnya, Suhartoyo menerangkan kewenangan yang dimiliki MK. Pertama, MK menguji undang-undang terhadap UUD. “Jadi kalau di masyarakat ada pemahaman semua peraturan perundang-undangan bisa diuji di MK, itu tidak benar. Karena MK hanya menguji undang-undang. Kalau ada persoalan pada peraturan di bawah undang-undang diujinya di MA,” kata Suhartoyo.
Berikutnya, MK berwenang memutus perselisihan sengketa antara lembaga negara. Misalnya, sengketa kewenangan antara DPR dengan DPD maupun Presiden dengan BPK dan sebagainya. Pihak yang merasa diganggu kewenangannya, bisa mengajukan permohonan ke MK. Kemudian MK juga berwenang memutus pembubaran partai politik. Pihak yang mengajukan permohonan untuk membubarkan parpol adalah pemerintah, apabila parpol yang dimaksud bertentangan dengan Pancasila atau UUD.
Lainnya, MK berwenang memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Legislatif. Termasuk juga MK berwenang memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum serta perbuatan tercela. Selain lima kewenangan tersebut, MK punya kewenangan tambahan memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.
Sejarah Konstitusi Indonesia
Lebih lanjut Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) merupakan lembaga peradilan yang lahir dari Perubahan UUD 1945. Kalau mengikuti perkembangan Konstitusi Republik Indonesia, ungkap Saldi, Indonesia sudah menggunakan beberapa konstitusi.
“Ada UUD 1945 yang didesain oleh para pendiri negara, kemudian digantikan dengan Konstitusi RIS 1949, lalu digantikan lagi dengan UUDS 1950 dan kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959 saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden dan membubarkan konstituante,” ujar Saldi.
Sampai akhirnya pada 1999 yang diawali dengan reformasi, para mahasiswa menjadi pelaku utamanya meminta Perubahan UUD 1945. Amendemen UUD 1945 berlangsung dari 1999-2002, salah satunya menggagas perlu dibentuknya MK Republik Indonesia. Setelah itu ada warna baru demokrasi di Indonesia, dengan melakukan Pemilihan Presiden secara langsung sejak 2004. Saat itu terpilih Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden, yang terpilih kembali pada 2009. Pada 2014 kembali dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung, terpilih Joko Widodo, berlanjut pada 209 sampai sekarang.
Persidangan dan Putusan MK
Berbicara mengenai persidangan di MK, kata Saldi, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. “Pihak-pihak yang hak konstitusional merasa terabaikan dan merasa kehilangan haknya,” tegas Saldi.
Mengenai putusan-putusan yang pernah dijatuhkan MK, Saldi menjelaskan antara lain MK pernah mengabulkan permohonan UU tentang Kependudukan terkait kesulitan pencantuman identitas sekelompok warga negara di KTP, dalam hal ini penganut aliran kepercayaan. Putusan MK pun membolehkan penganut aliran kepercayaan mencantumkan identitas agamanya di KTP.
Selain itu, lanjut Saldi, MK juga memutus permohonan pengujian UU Perkawinan yang amarnya menaikkan batas minimal perkawinan. Berikutnya, MK pernah membatalkan UU APBN karena menurut MK, batas minimal dana pendidikan 20 persen ternyata dinilai tidak cukup memadai. Lainnya, MK pernah memutus permohonan UU Tenaga Kesehatan maupun undang-undang lainnya yang berkaitan dengan dunia medis.
Sebelum mengakhiri paparan materi, Saldi memberikan nasihat kepada para mahasiswa UMTAS yang hadir secara daring maupun luring.
“Oleh karena itu, meskipun adik-adik tidak kuliah di fakultas hukum, sekali-sekali harus melihat perdebatan hukum dalam sidang MK. Suatu saat adik-adik dapat mengajukan permohonan ke MK. Yang paling penting, adik-adik dapat menjelaskan kepada Mahkamah, alasan mengapa dirugikan oleh pasal atau undang-undang tertentu. Setelah itu, biar kami yang menilai,” tandas Saldi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P