TASIKMALAYA, HUMAS MKRI - Dalam rangka Dies Natalis ke-47 Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) menggelar kuliah umum pada Rabu (22/12/2021) di Tasikmalaya. Tiga Hakim Konstitusi yaitu Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo serta Panitera MK Muhidin menjadi pemateri dalam kuliah umum bertema “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Sistem Ketatanegaraan dan Demokrasi di Indonesia”. Kegiatan ini juga dihadiri Wakil Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin dan Forum Komunikasi Pemerintah Daerah Tasikmalaya.
Pada kesempatan pertama, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengajak para peserta kuliah umum untuk memahami konteks kekuasaan kehakiman yang ada di Indonesia. Saldi mengatakan relasi antarkekuasaan pada negara tergambar secara sederhana dalam konstitusi. Di Indonesia, terdapat tiga cabang kekuasaan negara yakni lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dari tiga bidang kekuasaan ini, kekuasaan yudisial menjadi kekuasaan yang tidak boleh dicampuri karena sebagai tempat semua orang menyelesaikan masalah.
“Jadi lembaga legislatif membuat aturan dalam bentuk undang-undang, lembaga eksekutif menjalankannya, dan apabila terjadi perdebatan di antara keduanya maka yudikatiflah yang akan menyelesaikannya. Maka yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka dan menjadi cabang kekuasaan yang dibangun negara dengan tidak boleh diintervensi dari mana pun,” sampai Saldi.
Lebih lanjut Saldi menjelaskan tentang fungsi saling awas dan kontrol antarkekuasaan di Indonesia yang termuat dalam kewenangan MK. Secara historikal, Saldi menyebutkan usul atas fungsi pengawasan yang dilakukan MK saat ini sejatinya telah ada sejak pendiri bangsa merumuskan konstitusi. Pada masa itu, Moh. Yamin mengusulkan agar Balai Agung memiliki kewenangan untuk membanding undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sebab, ia melihat akan sangat mungkin dirumuskan sebuah norma undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi. Namun ide ini mendapat catatan keberatan oleh Soepomo. Sebab masih terbatasnya sarjana hukum dan menurut Soepomo ide ini menempatkan Balai Agung menjadi lembaga yang dinilainya akan lebih tinggi posisinya dari pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, ide ini pun tertangguhkan hingga akhirnya reformasi bergulir dan amendemen UUD 1945 dilakukan pada 1999–2002.
“Maka ide Moh. Yamin ini Kembali muncul karena adanya kebutuhan dan praktik kecenderungan baru sejak 1980-an di mana banyak negara-negara di dunia yang telah mendirikan sebuah lembaga yang memiliki otoritas berbeda dari MA sehingga secara empirik ada faktor mendorong atas lahirnya MK. Selain itu, secara faktual di MA Indonesia juga dilihat terjadi penumpukan perkara yang luar biasa sehingga akan sulit menyelesaikan banyak perkara tersebut. Oleh karenanya, disepakati sebuah institusi kekuasaan kehakiman yang baru bernama Mahkamah Konstitusi,” cerita Saldi dalam Kuliah Umum Sesi I yang juga diisi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo selaku pemateri kedua.
Sidang Perkara SKLN
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams sebagai pemateri pertama pada Sesi II Kuliah umum STHG ini menyampaikan materi tentang kewenangan MK dalam menyelesaikan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN). Dalam paparan, Wahiduddin mengatakan jika dibandingkan dengan kewenangan MK dalam pengujian undang-undang, penanganan perkara SKLN hanya 29 perkara atau 1% dari perkara yang ditangani MK. Atas kewenangan ini, sambung Wahiduddin, untuk hukum acaranya, MK berpedoman pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 8 Tahun 2006. Sedangkan untuk rangkaian atau agenda persidangan SKLN termuat pada Pasal 11 UU MK 8/2006, mulai dari agenda sidang pendahuluan/pertama, sidang pemeriksaan, hingga putusan.
Hal yang perlu menjadi catatan bagi para pihak, meski sidang yang dilakukan berupa SKLN, namun sifat sidangnya terbuka untuk umum. Dengan demikian, masyarakat pun tetap dapat mengikuti perkembangan persidangan SKLN sama halnya dengan sidang pengujian undang-undang. Hal yang tak dapat diikuti secara langsung oleh masyarakat hanyalah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang membahas putusan akhir terhadap perkara-perkara yang diajukan ke MK.
Berperkara di MK
Panitera MK Muhidin dalam paparannya mengulas secara tuntas tentang teknis hukum acara MK. Muhidin menginformasikan jika berperkara di MK tidak dipungut biaya. Persidangan MK dan dapat dilakukan secara online dari kampus-kampus yang ditunjuk menjadi lokasi persidangan. Hal ini, kata Muhidin, semata-mata dilakukan untuk memudahkan dan menjangkau para pihak dalam berperkara di MK.
“Oleh karena itu, MK memberikan peluang pada masyarakat untuk mengajukan permohonan ke MK. Namun lagi-lagi siapa saja yang berhak mengajukan perkara harus dipelajari dan dipahami masyarakat yang dapat dibaca pada laman mkri.id yang dapat diakses masyarakat dari manapun dan kapanpun,” sampai Muhidin.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.