TASHKENT, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Aswanto dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic beserta delegasi MK Indonesia melakukan pertemuan dengan Ketua dan Anggota Supreme Judicial Council (Dewan Kehakiman Agung) Uzbekistan pada Senin (20/12/2021) di Tashkent, Uzbekistan. Dalam kesempatan itu, Yodgorov mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kunjungan Aswanto beserta delegasi MKRI.
“Hubungan Uzbekistan dan Indonesia selama ini sangat baik karena terdapat banyak kesamaan budaya, termasuk sama-sama negara dengan penduduk mayoritas muslim. Sebab itulah setiap kali ada pertemuan yang melibatkan kedua negara ini selalu lancar,” jelas Ketua Supreme Judicial Council Uzbekistan Yodgorov Holmo'min Buvraboevich.
Di hadapan delegasi MK Indonesia, Yodgorov menjelaskan bahwa Supreme Judicial Council Uzbekistan merupakan badan kehakiman (body of judicial community) untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip konstitusional dan independensi otoritas kehakiman di Uzbekistan. Lembaga ini turut aktif dan terlibat dalam proses penentuan hakim konstitusi serta hakim Mahkamah Agung beserta peradilan di bawahnya. Berdasarkan konstitusi, pemilihan hakim-hakim tersebut dipilih oleh Senat dari nominasi yang diusulkan Presiden. Tetapi lembaga kami terlibat dalam proses tersebut. “Lembaga ini juga terlibat secara aktif dalam pengangkatan hakim di pengadilan tingkat provinsi, juga hakim-hakim lain pada semua tingkatan di Uzbekistan,” terang Yodgorov.
Lembaga ini juga, lanjut Yodgorov, telah membangun sistem teknologi informasi untuk memudahkan dalam menentukan hakim-hakim yang layak diberikan penghargaan, dan hakim-hakim yang perlu diingatkan kinerjanya. Dalam sistem teknologi informasi tersebut mengharuskan semua hakim untuk mengupload semua kegiatannya, begitu juga hasil dari pekerjaan. Dengan teknologi informasi yang dibangun, maka setiap saat akan mudah didapatkan data terkait dengan lembaga peradilan di Uzbekistan. Misalnya, berapa total hakim di masing-masing tingkatan peradilan akan dengan mudah diketahui. Begitu juga berapa hakim yang kosong dan perlu segera dilakukan pengisian. Termasuk jumlah total hakim perempuan. “Saat ini Ada 25 hakim kosong dan sedang dalam proses pengisian. Sedangkan total hakim perempuan berjumlah 170 hakim,” tuturnya.
Dalam kesempatan berikutnya, Aswanto menyampaikan salam hangat dari Ketua MK, Anwar Usman dan para hakim konstitusi. Ia juga menyampaikan harapan agar hubungan baik di antara kedua lembaga terus terjalin dengan baik. Selain itu, di depan Ketua, Wakil Ketua, Anggota, serta pejabat tinggi Supreme Judicial Council Uzbekistan tersebut, Aswanto juga menjelaskan awal mula berdirinya MK. Selain itu, ia juga menjelaskan struktur kelembagaan, tugas, dan kewenangan MK Indonesia. Menurutnya, MK Indonesia dirikan pada tanggal 13 Agustus 2003. Lembaga ini didirikan untuk menjalankan peran penting yaitu untuk menegakkan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
“Secara struktur kelembagaan, terdapat sembilan orang hakim konstitusi yang dibantu oleh Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal. Berdasarkan Pasal 24 C UUD 1945, MK memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD 1945. Ketika ada warga negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya yang dijamin dalam UUD 1945 dirugikan atas keberlakukan sebuah UU, maka warga negara tersebut berhak mengajukan pengujian ke MK. Apabila terjadi terbukti bahwa pasal dan/atau ayat dalam UU tersebut terbukti bertentangan dengan konstitusi maka bisa dibatalkan oleh MK,” ujar Aswanto.
Oleh karenanya, menurut Aswanto, tidak mengherankan apabila banyak yang orang yang menganggap bahwa MK Indonesia adalah lembaga yang superbody. Hal ini disebabkan karena kewenangan untuk melakukan pengujian UU tersebut. Di Indonesia, sebuah UU dibentuk oleh DPR—yang beranggotakan 575 orang—bersama Presiden, dapat dibatalkan oleh MK yang beranggotakan 9 hakim konstitusi.
Kewenangan MK berikutnya, menurut Aswanto, adalah menangani sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945. Kewenangan ini memposisikan MK seperti “wasit” dalam menyelesaikan persoalan tersebut. “Selain itu, MK Indonesia juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislative maupun Pemilihan Presiden,” terangnya.
Kewenangan lain yang dimiliki oleh MK Indonesia, menurut Aswanto, adalah membubarkan partai politik. Menurutnya, kalau ada partai politik yang dianggap anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya (AD/ART) bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka MK bisa membubarkan partai politik tersebut. Kewenangan ini belum pernah dilakukan karena belum ada yang mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK. Selain empat kewenangan tersebut, Aswanto juga menjelaskan satu kewajiban MK terkait dengan pemakzulan Presiden, yaitu MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menambahkan penjelasan mengenai kesetaraan warga negara, baik perempuan maupun laki-laki, dalam pengisian jabatan publik di Indonesia. Menurut Daniel, berdasarkan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 dikatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Karenanya, di Indonesia tidak ada pembedaan jabatan antara permpuan dan laki-laki. Semua jabatan bisa diisi oleh semua perempuan asal memenuhi persyaratan. “Indonesia memiliki presiden perempuan, yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri,” tukas Daniel
Dalam pertemuan yang digelar di Gedung Supreme Judicial Council, Aswanto juga meminta kepada anggota delegasi lain untuk secara bergantian menyampaikan tugas dan fungsinya masing-masing dalam membantu MK dalam menjalankan tugas-tugas konstitusionalnya. Olfiziana, Staf Bagian Kerja Sama Luar Negeri, menyampaikan model dan strategi kerja sama internasional yang selama ini dilakukan MK. Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Fajar Laksono menyinggung soal dukungan kepada MK dalam menegakkan prinsip peradilan terbuka melalui kemudahaan akses informasi publik dan jaringan kerja sama yang dibutuhkan. Peneliti Abdul Ghoffar dan Titis Anindyajati menerangkan perihal pola dan mekanisme dukungan substansial kepada hakim konstitusi dalam memutus perkara.(*)
Penulis: Abdul Ghoffar
Editor: Lulu Anjarsari P.