JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi narasumber pada Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama dengan United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) secara daring pada Selasa (21/12/2021). Dalam kegiatan bertema “Public Dissemination Understanding Statelessness Situation in Indonesia through Baseline Survey Project in 2021,” ini, Arief membahas mengenai “Politik Hukum Kewarganegaraan di Indonesia”.
Berbicara politik hukum, Arief berpendapat hal ini berkaitan dengan strategi penegakan hukum yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni politik hukum ideal, politik hukum dasar, dan politik hukum instrumental. Menurut Arief, politik hukum ideal di Indonesia termuat pada Pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan dengan bernegara dan berideologi. Di Indonesia, Pancasila yang disebut sebagai politik hukum ideal. Sebab, keberlakuannya permanen karena jika diubah dapat berarti mengubah dan membubarkan negara yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Oleh karenanya pada saat 1999 – 2002 dilakukannya amendemen UUD 1945, Pembukaan UUD 1945 tidak diubah oleh MPR dan hanya melakukan pengubahan pada pasal-pasal yang ada pada UUD 1945.
Berikutnya, politik hukum dasar berhubungan dengan arah kebijakan yang termuat pada pasal-pasal UUD 1945 dengan keberlakuan yang bersifat semi permanen. Dalam pandangan Arief, kendati pasal dalam UUD 1945 dapat diubah, diharapkan pengubahan tidak dilakukan dalam intensitas sering. “Karena jika sering diubah, maka produk peraturan di bawah UUD 1945 pun harus diubah dan disesuaikan dengan pengubahan yang telah dilakukan pada UUD 1945. Sebab dalam struktur hukum ada konsistensi, koherensi, dan korespondensi,” jelas Arief.
Selanjutnya, politik hukum insturmental yakni undang-undnag di Indonesia yang dibuat oleh DPR bersama presiden. Politik hukum ini, sambung Arief, menjabarkan politik hukum dasar dengan keberlakuannya yang bersifat temporer. Sehingga bisa diubah dan diamendemen serta disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Maka undang-undang dapat disebut pula sebagai instrumen untuk melaksanakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sehubungan dengan politik hukum kewarganegaraan di Indonesia, termuat pada Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang membagi 3 hal, yakni warga negara, penduduk, dan orang asing. Pelaksanaan dari norma ini diturunkan pada Pasal 4 UU 12/2006 tentang Warga Negara yang pada intinya mengatur tentang siapa yang boleh menjadi Warga Negara Indonesia. Lebih jelas Arief menyebutkan jika di Indonesia menganut dua asas kewarganegaraan, yaitu ius sanguinis dan ius solli. Di Indonesia, kedua asas ini secara bersama-sama digunakan jika status kewarganegaraan orang tua seseorang (belum berumur 18 tahun) tidak jelas, tetapi dilahirkan di Indonesia sehingga dimungkinkan menjadi WNI berdasarkan UU Kewarganegaraan.
Terkait dengan hal ini, MK melalui Putusan Nomor 80/PUU-XIV/2016 tentang UU Kewarganegaraan yang diajukan oleh Ira Hartini Natapradja Hamel yang merupakan anak hasil perkawinan campuran yang ditolak menjadi Anggota Paskibraka. Putusan ini, cerita Arief, menegaskan jika anak yang dihasilkan dalam perkawinan campuran maupun di luar perwakinan campuran yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin perlu mendaftar untuk mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia. Sebab, di Indonesia menerapkan prinsip kewarganegaraan tunggal (apatride). Dengan demikian, kewarganegaraan ganda di Indonesia masih dimungkinan sebagai akibat perkawinan campuran. Namun dibatasi sebelum seseorang berumur 18 tahun atau belum kawin untuk kemudian mendapatkan warga negara Indonesia dengan mendaftarkan diri pada pejabat yang berwenang.
Pada kegiatan ini, hadir pula pemateri lainnya seperti Walikota Bitung Maurits Mantiri yang menyampaikan materi berjudul “Kondisi Stateless Person di Bitung: Problematika dan Penanganannya” dan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrulloh dengan materi berjudul “Identifikasi Statelessness di Indonesia”.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P