BIMA, HUMAS MKRI – Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili perkara Pemilihan Presiden (Pilpres), pertanggungjawabannya langsung kepada Allah SWT. Itulah sebabnya, setiap pembacaan putusan MK selalu didahului kalimat “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
“Ini berarti, ketika palu diketukkan, maka tanggung jawab hakim langsung kepada Allah SWT,” ungkap Ketua MK Anwar Usman saat memberikan Ceramah Konstitusi di Desa Dena, Kecamatan Mada Pangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (18/12/2021) yang dihadiri camat dan kepala desa, para tokoh, ulama serta warga desa.
Namun demikian, lanjut Anwar, tidak ada putusan hakim di pengadilan manapun termasuk MK, yang dapat memuaskan semua pihak. Pasti terjadi pro dan kontra, ada yang suka dan yang tidak suka, ada yang merasa puas dan ada yang tidak merasa puas terhadap putusan. Contohnya, saat para hakim konstitusi menjatuhkan putusan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden Tahun 2019, ada yang merasa puas dan ada yang kecewa. Pihak yang kecewa menumpahkan hujatan ke semua hakim konstitusi, terlebih kepada Ketua MK.
“Hakim yang putusannya benar akan mendapatkan pahala. Bahkan hakim yang putusannya salah saja, tetap dapat pahala. Tapi bukan putusan salah yang disengaja, melainkan putusan yang sudah melalui proses berpikir secara keras sebelum menjatuhkan putusan,” tegas Anwar.
Anwar kemudian menuturkan jiwa besar Khalifah Ali bin Abi Thalib RA saat kehilangan peralatan pedang. Ali melihat baju perang miliknya sedang dijemur di depan rumah seorang Yahudi. Ali pun mendatangi orang Yahudi tersebut dan mengatakan baju perang itu miliknya. Namun orang Yahudi itu tetap bersikeras dialah yang memiliki baju perang itu. Padahal semua orang tahu, itu milik Ali bin Abi Thalib.
Sampai terjadi gugat menggugat dalam sidang pengadilan. Di pengadilan, Ali hanya membawa dua saksi yakni anaknya dan pembantunya.
“Ketika hakim menjatuhkan putusan, ternyata gugatan Ali bin Abi Thalib ditolak. Namun Ali tidak marah dengan putusan tersebut. Selesai sidang, Ali mendatangi orang Yahudi itu dan mengatakan, karena dia tidak mampu membuktikan argumentasinya dan saksi-saksinya dalam sidang, maka Ali mengikhlaskan peralatan perang kepada si Yahudi itu,” ungkap Anwar.
Kisah Abu Hanifah
Anwar usman juga menuturkan kisah Imam Abu Hanifah yang pernah diminta menjadi hakim oleh raja di Irak kala itu. Namun permintaan raja itu ditolak, sehingga menyebabkan raja marah dan Abu Hanifah harus mendekam di penjara. Abu Hanifah berkali-kali masuk penjara karena menolak permintaan raja untuk menjadi hakim. Sampai akhirnya Abu Hanifah wafat akibat diberikan minuman berisi racun.
“Memang berat tanggung jawab menjadi hakim, sampai Abu Hanifah berkali-kali menolak menjadi hakim dan berani mempertaruhkan nyawanya. Karena pertanggungjawabannya langsung ke Allah SWT,” ucap Anwar.
Anwar melanjutkan, para hakim konstitusi harus bersikap netral, independen, dan imparsial dalam menjalankan tugasnya. Para hakim konstitusi tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun, pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Sembilan hakim konstitusi dipilih dari tiga unsur kekuasaan yakni dari Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung yang masing-masing tiga orang.
“Namun ketika kami mengucapkan sumpah di Istana Presiden untuk menjadi hakim konstitusi, kami tidak lagi berpikir dari unsur kekuasaan mana kami berasal. Kami adalah negarawan. Karena negarawan sebagai salah satu syarat menjadi hakim konstitusi, seperti disebutkan dalam UUD 1945. Tugas mengawal konstitusi berada di pundak sembilan hakim konstitusi,” imbuh Anwar.
Penulis: Hamdi.
Editor: Nur R.