JAKARTA, HUMAS MKRI - Permohonan pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan) yang diajukan oleh mantan Direktur Utama PT BPR Palembang tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Putusan Nomor 58/PUU-XIX/2021 tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum menyebutkan, terdapat pertentangan pada bagian petitum Pemohon yaitu petitum angka 2 dan angka 3. Dalam petitum angka 2, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk memaknai frasa “Anggota Dewan Komisaris, Direksi atau Pegawai Bank” menjadi “setiap orang” sehingga Pemohon meminta Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998 dimaknai sebagai “(1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank".
Baca juga: Mantan Direktur BPR Palembang Uji Aturan Tindak Pidana dalam UU Perbankan
Selanjutnya pada petitum angka 3, sambung Enny, Pemohon meminta pemaknaan kembali Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998 sepanjang kata “menyebabkan”, sehingga Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998 berbunyi, “(1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. membuat adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank".
“Terhadap petitum angka 2 dan angka 3 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, petitum demikian bersifat kumulatif karena Pemohon meminta kepada Mahkamah agar memaknai dua kali Pasal 49 ayat (1) huruf a UU 10/1998, sehingga permintaan demikian menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan terkait apa sesungguhnya yang diminta oleh Pemohon. Jika petitum sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar akan menimbulkan kerancuan norma sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum,” tegas Enny dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Rabu (15/12/2021) siang.
Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon telah menimbulkan ketidakjelasan atau kabur, sehingga Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan Pemohon tersebut.
Menurut Enny, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun oleh karena permohonan Pemohon kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon.
Baca juga: Mantan Direktur BPR Palembang Perbaiki Permohonan Uji UU Perbankan
PerbankanSebelumnya, Armansyah mengajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon Perkara Nomor 58/PUU-XIX/2021 ini mendalilkan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (1) huruf b UU Perbankan multitafsir sehingga merugikan hak konstitusionalnya. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (1) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan penerapan sanksi pidana kepada Pemohon dengan dugaan melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan BAB VIII Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif adalah cacat hukum.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Raisa Ayudhita