JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan Nomor 54/PUU-XIX/2021 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Maluku Tenggara Barat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara ini. Sehingga dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (15/12/2021) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan diajukan oleh dua orang Dosen Fakultas Hukum, Universitas Khairun, yaitu Gunawan A. Tauda dan Abdul Kadir Bubu. Para Pemohon menganggap hak konstitusional untuk mendapatkan kepastian hukum atas berlakunya Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 telah terlanggar dikarenakan sejak diundangkan UU 46/1999 pada 4 Oktober 1999, hingga kini, kurang lebih 22 (dua puluh dua) tahun lamanya, Pemerintah tidak mampu menuntaskan permasalahan ibukota Provinsi Maluku Utara yang “berkepastian hukum” sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (2) UU 46/1999. Pada awalnya, ibukota Kabupaten Halmahera Tengah berkedudukan di Tidore. Dengan terbentuknya Kota Tidore Kepulauan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara (selanjutnya disebut UU 1/2003), berdampak pada pembentukan wilayah Kabupaten Halmahera Tengah yang dikurangi wilayah Kota Tidore Kepulauan. Akibatnya, wilayah administratif “Sofifi” sebagai “kawasan” ibukota Provinsi Maluku Utara yang semula ditentukan berada di Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan UU 46/1999, kemudian bergeser ke Kecamatan Oba Utara Kota Tidore Kepulauan (oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah Kecamatan Oba dimekarkan menjadi Kecamatan Oba, dan Kecamatan Oba Utara).
Adanya pergeseran tersebut menyebabkan pengaturan Ibukota Provinsi Maluku Utara tidak memiliki kepastian hukum. Terlebih, jika mengacu pada Pasal 22 UU 1/2003 yang menentukan “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku.”
Para Pemohon merasa sebagai warga daerah Provinsi Maluku Utara, sampai saat ini belum memperoleh kepastian hukum mengenai wilayah ibukota atau pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara. Provinsi Maluku Utara merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang ibukotanya berstatus “imajiner” karena ketiadaan pengaturan yang berkepastian hukum. Status ibukota imajiner dimaksud, menurut para Pemohon, merugikan atau berpotensi merugikan para Pemohon selaku warga Daerah Provinsi Maluku Utara, karena berdampak pada derajat kualitas pelayanan publik yang tidak optimal, dan “sedikit banyak” berkontribusi negatif terhadap percepatan pembangunan daerah.
Kedudukan Hukum
Mahkamah menegaskan bahwa pihak yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah adalah kepala daerah baik gubernur, bupati, walikota, bersama-sama dengan DPR daerah provinsi, kabupaten, kota. Terkait hal tersebut, menurut Mahkamah, oleh karena yang ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 49 Tahun 1999 berkenaan dengan penetapan administratif ibukota Provinsi Maluku Utara yang berkaitan erat dengan kewenangan pemerintahan daerah, maka yang dapat mewakili kepentingan daerah untuk mengajukan pengujian ketentuan dimaksud adalah pemerintahan daerah.
“Berkenaan dengan hal itu, saat sidang pendahuluan pada 25 Oktober 2021, Majelis Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum para Pemohon dengan melibatkan pemerintahan daerah karena persoalan yang dimohonkan para Pemohon berkaitan langsung dengan pemerintahan daerah,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pendapat Mahkamah.
Namun demikian, Mahkamah mencermati, dalam perbaikan permohonan Pemohon tidak dapat mengikutsertakan pemerintahan daerah sebagai Pemohon. Dengan demikian walaupun para Pemohon telah menjelaskan adanya hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945, namun sesuai dengan asas yang berlaku universal dalam gugatan di pengadilan yaitu tanpa kepentingan, tidak ada satu tindakan, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara tersebut.
Baca juga:
Pemohon: Sofifi Tidak Layak Sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara
Maluku Utara Satu-satunya Provinsi Beribukota Imajiner
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.