JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian permohonan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mahkamah menyatakan ketentuan norma Pasal 293 ayat (2) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”.
Demikian sidang pengucapan Putusan Nomor 21/PUU-XIX/2021 yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh para hakim konstitusi dalam persidangan yang digelar pada Rabu (15/12/2021) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan pengujian materiil KUHP ini diajukan oleh dua Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) yaitu Leonardo Siahaan dan Fransicus Arian Sinaga.
Para Pemohon menilai pasal-pasal tersebut multitafsir dan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 293 ayat (2) dan Pasal 288 KUHP multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas. Pasal-pasal tersebut meresahkan dan menimbulkan kekhawatiran para Pemohon yang memiliki adik kandung dan saudara perempuan, yang rentan menjadi korban percabulan di bawah umur dan sebagai korban kekerasan dalam perkawinan sehingga tidak ada implementasi kepastian perlindungan hukum.
Para Pemohon merasa tidak adanya kejelasan Pasal 288 KUHP mengenai batasan umur yang dimaksud oleh ketentuan tersebut. Menurut para Pemohon, seharusnya Pasal 288 KUHP memberikan penjelasan yang jelas usia dari yang dimaksud “belum waktunya untuk dikawini. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan perdebatan seperti apa “belum waktunya untuk dikawini” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 KUHP.
Sehingga dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah Pasal 293 KUHP dan 288 KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” dan “belum waktunya untuk dikawini” tidak mempunyai kekuatan mengikat. Pemohon pun meminta kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).
Laporan Peristiwa Pidana
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah mengatakan korban tindak pidana dalam perbuatan asusila termasuk dalam tindak pidana pencabulan yang korbannya tidak saja orang dewasa tetapi sangat dimungkinkan dialami oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat untuk dapat diprosesnya tindak pidana tersebut diperlukan adanya laporan berkenaan dengan telah terjadinya peristiwa pidana yang hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat maupun korban secara langsung.
Saldi melanjutkan, secara doktriner laporan adanya peristiwa pidana dapat dilakukan oleh masyarakat terutama terjadi pada tindak pidana biasa yang tidak dipersyaratkan adanya keharusan pengaduan dari pihak yang menjadi korban (delik biasa). Namun demikian, terdapat peristiwa pidana yang diperlukan adanya persyaratan khusus untuk dapat ditindaklanjuti peristiwa pidana tersebut pada tingkat penyidikan dengan syarat secara khusus harus ada pelaporan atau pengaduan dari korban, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP.
“Berkenaan dengan persyaratan dimaksud, penting bagi Mahkamah untuk menyatakan faktor usia atau kedewasaan memiliki peran berkenaan dengan ada tidaknya laporan tersebut sebagai syarat formal untuk dapat ditindaklanjutinya suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini, dalam batas penalaran yang wajar, bilamana korban dari tindak pidana adalah anak di bawah umur, anak di bawah umur dimaksud memiliki banyak keterbatasan untuk melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya. Sehingga, sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lain memiliki banyak keterbatasan,” kata Saldi membacakan pertimbangan hukum putusan.
Syarat Pelaporan Korban Tindak Pidana Di bawah Umur
Sementara itu, korban yang merupakan anak di bawah umur akan membawa dampak sangat serius berkaitan dengan kelangsungan masa depan korban anak di bawah umur yang bersangkutan. Namun demikian, berkenaan dengan laporan atau pengaduan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP acapkali menimbulkan dilema, di mana tidak setiap korban termasuk keluarga korban menghendaki adanya laporan atau pengaduan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atas peristiwa pidana yang menimpa korban. Di sisi lain, tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah tindak pidana yang serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum.
Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan, maka ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut.
“Dengan demikian, Mahkamah berpendapat untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umur, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya,” lanjut Saldi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, syarat pelaporan atau pengaduan berkenaan dengan korban anak di bawah umur dalam tindak pidana Pasal 293 ayat (2) KUHP, menurut Mahkamah, harus dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, terhadap frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”.
Baca Juga…
Aturan Laporan Pencabulan Hanya Boleh Diadukan oleh Korban Diuji
Mahasiswa UKI Perbaiki Permohonan Uji Aturan Laporan Pencabulan
DPR dan Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan, Sidang Uji KUHP Ditunda
DPR: Tindak Pidana Asusila terhadap Anak Diupayakan Masuk RUU KUHP
Beniharmoni: Cabul terhadap Anak termasuk Kejahatan Paling Serius
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.