JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 1 angka (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Selasa (14/12/2021). Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XIX/2021 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra selaku anggota sidang panel di Ruang Sidang Panel MK.
Para Pemohon terdiri atas 13 orang Aktivis Penegakan Hukum dengan berbagai profesi seperti analis penuntutan, dosen, advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa. Rizky Evrianto selaku perwakilan para Pemohon menyampaikan, pihaknya tidak melakukan perbaikan permohonanan sehingga tetap berpedoman dengan permohonan yang telah disampaikan pada sidang sebelumnya.
“Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. … Menyatakan Pasal 1 angka (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 …,” sebut Rizky yang menghadiri sidang secara virtual.
Atas uraian yang disampaikan para Pemohon ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar para Pemohon menunggu informasi kelanjutan perkara ini setelah para hakim melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim. Untuk itu, para Pemohon diharapkan menunggu informasi selanjutnya dari Kepaniteraan MK.
Baca juga: Sejumlah Aktivis Persoalkan Independensi Kejaksaan
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon mempersoalkan kejelasan kedudukan Kejaksaan RI secara normatif dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Para Pemohon menginginkan Kejaksaan RI memiliki independensi struktural yang kuat sehingga terhindar dari gangguan dan intervensi pihak luar. Dalam hal ini, para Pemohon mendalilkan penyebutan Kejaksaan sebagai “Lembaga Pemerintahan” dalam Pasal 2 ayat (1) yang disertai dengan adanya pengaturan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan terkait mekanisme pengangkatan Jaksa Agung tanpa melalui mekanisme Fit and Proper Test Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wujud penerapan prinsip Checks and Balances dalam penalaran yang wajar, dapat dikatakan sangat berpotensi menimbulkan gangguan terhadap independensi struktural Kejaksaan RI sebagaimana fungsi utamanya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman atau proses penegakan hukum, yaitu penuntutan. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut para Pemohon, pengaturan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan dapat membuka ruang kesempatan kepada Presiden sebagai organ politik baik demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan fungsi penegakan hukum Kejaksaan RI. Sebab berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Jaksa Agung secara sepihak oleh Presiden tanpa persetujuan terlebih dahulu dari DPR.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 1 angka (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: Fitri Yuliana