JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkaman Konstitusi Anwar Usman menjadi pemateri dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri (Uniska) Kediri, Jawa Timur pada Kamis (9/12/2021). Dalam kuliah virtual ini, Anwar memaparkan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”. Anwar mengatakan secara umum hukum acara MK diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan pengaturannya diperinci dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Seiring berjalannya waktu, hukum acara MK pun terus melakukan adaptasi berdasar praktik persidangan dan putusan yang dikeluarkan MK. Perkembangan ini, kata Anwar, utamanya guna memberikan perlindungan hak konstitusional kepada warga negara.
Sebagai ilustrasi, terang Anwar, pada saat MK pertama berdiri dan keberadaannya diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat satu norma pasal yang menyebutkan bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji ke MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 pada masa 1999–2002. Ketentuan norma ini, kata Anwar, berangkat dari suatu prinsip hukum bahwa hukum harus bersifat prospektif dan bukan retroaktif.
Kemudian, sebagai wujud perkembangan hukum acara MK, Anwar mengungkapkan tentang kedudukan hukum Pemohon. Kendati Pasal 51 UU MK telah diatur pihak yang memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon di dalam perkara pengujian UU, namun pengembangan dari syarat konstitusional Pemohon tersebut diuraikan pada Pasal 51 UU MK. Berikutnya, terkait dengan format putusan MK khususnya bentuk amar putusan MK, terdiri atas tidak dapat diterima, ditolak, dan dikabulkan.
“Jadi, hukum acara seolah dapat diibaratkan sebagai jembatan bagi para pihak yang berperkara, menuju keadilan yang hendak ditujunya. Tanpa hukum acara yang memberikan kepastian hukum yang adil, maka tidak mungkin hukum materiil dapat ditegakkan. Oleh karena belum ada UU yang bersifat khusus yang mengatur tentang hukum acara MK, dan guna melengkapi ketentuan hukum acara yang terdapat di dalam UU Mahkamah Konstitusi itulah, maka disusunlah Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Hukum Acara,” kata Anwar pada kegiatan yang turut diikuti oleh Dekan FH Uniska Zainal Arifin secara virtual.
Lebih jelas Anwar mengatakan PMK tentang Hukum Acara tidak bersifat formil sehingga sifatnya adalah pedoman dan panduan bagi para pihak yang berperkara. Bahkan dalam beberapa situasi tertentu, tidak menutup kemungkinan Majelis Hakim harus melakukan musyawarah untuk mengambil jalan tengah terbaik sesuai dengan dinamika persidangan.
Diakui Anwar, secara teoritik hukum acara merupakan produk dari law making proccess atau menjadi tangung jawab pembentuk UU di lembaga legislatif. Namun perkembangan hukum acara tersebut pada praktiknya memiliki basis legal reasoning yang dapat dibenarkan. Sehingga secara ideal, keduanya dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi dalam rangka mewujudkan kepastian hukum yang adil bagi para setiap warga negara yang berikhtiar untuk mencari keadilan.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.