JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima audiensi perwakilan buruh yang hendak menyerahkan surat terkait Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil UU Cipta Kerja. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Rabu (8/12/2021) tersebut, MK diwakili oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Heru Setiawan didampingi oleh Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Fajar Laksono.
Dalam audiensi yang berlangsung di Gedung 2 MK tersebut, Heru menerima langsung surat yang hendak disampaikan para buruh. Ia mengatakan bahwa MK hanya memfasilitasi audiensi para buruh dan akan menyampaikan surat dari para buruh kepada pimpinan MK.
“Kami menjamin bahwa kami memfasilitasi apa yang diharapkan kepada MK. Tetapi dalam forum ini, kami diberikan amanah hanya bertugas untuk memberikan layanan yang terbaik untuk bapak ibu terkait dengan kehadiran bapak di MK. Saya kira itu,” ujar Heru di hadapan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani, beserta sejumlah perwakilan kelompok buruh.
Sementara itu Andi Gani mewakili para buruh menyampaikan banyak tafsir yang diberikan para ahli terkait Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan sudah UU Cipta Kerja tidak berlaku lagi. Ia berharap MK dapat memberikan penjelasan terkait dengan putusan UU Cipta Kerja agar tafsiran ini tidak menjadi bumerang di masyarakat. “Kami hanya ingin meminta penjelasan mengenai amar putusan MK agar tidak multitafsir,” ujar Andi Gani menjelaskan maksud surat yang disampaikan.
Dalam sesi temu wartawan, Said menyampaikan bahwa pertemuan tersebut dilakukan untuk mendapatkan penjelasan dari MK mengenai Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. “Apakah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 masuk dalam amar putusan nomor 4 atau nomor 7, dimana tindakan atau kebijakan itu dapat berdampak luas diminta untuk ditangguhkan,” ujar Said Iqbal.
Lebih lanjut Said mengatakan, putusan MK bersifat erga omnes yang berarti mengikat pada satuan terkecil pemerintahan. Dengan demikian, Walikota dan Gubernur boleh menggunakan putusan MK tanpa harus berkonsultasi atau tunduk kepada pemerintah pusat karena mengikat putusan MK itu.
Untuk diketahui, MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021 silam, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.
Dalam amar Putusan, Mahkamah menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak’ putusan ini diucapkan. Selain itu, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Selain itu, MK pun memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pulamenerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Mahkamah menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P