JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto menerima audiensi delegasi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IX (LLDikti Wilayah IX) pada Selasa (7/12/2021) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Hadir di antara delegasi tersebut adalah H.A. Muin Fahmal.
Di awal pertemuan, Aswanto menjelaskan, pada 2017 MK membentuk Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Latar belakang pembentukan MKMK karena adanya dugaan pelanggaran yang berat terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. MKMK beranggotakan Hakim Konstitusi, Komisi Yudisial, DPR, Pemerintah, Mahkamah Agung. MKMK mempunyai kewenangan untuk memberhentikan salah seorang Hakim Konstitusi apabila melakukan pelanggaran berat.
Keberadaan MKMK
Lebih lanjut Aswanto menyampaikan, dalam UU No. 24 Tahun 2003 dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan mengenai keberadaan MKMK. Mekanisme kerja MKMK adalah membentuk Dewan Etik MK yang kesehariannya berada di MK.
“Dewan Etik beranggotakan mantan Hakim Konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi, masing-masing satu orang. Kebetulan saya menjadi tim seleksi untuk Dewan Etik MK yang pertama,” kenang Aswanto.
Bukan Pengawas
Sementara itu Kepala Bagian Humas dan Kerja sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso yang hadir dalam audiensi itu, mengatakan sejatinya UU MK mendesain MKMK. Ketika ada pelanggaran, baru dibentuk MKMK. Sejak saat itulah MK mempertimbangkan perlu adanya lembaga yang secara day to day bertugas menjaga kehormatan Hakim Konstitusi, dalam hal ini Dewan Etik MK.
“Dewan Etik itu bukan pengawas. Mind set-nya bukan mengawasi Hakim Konstitusi, tetapi menjaga kehormatan Hakim Konstitusi, menjaga keluhuran dan martabat Hakim Konstitusi. Karena antara menjaga dan mengawasi merupakan dua hal yang berbeda. Hakim Konstitusi tidak perlu diawasi, tapi justru dijaga agar tidak mendekat pada arah yang terlarang,” papar Fajar.
Beberapa tahun belakangan ini, ungkap Fajar, secara praktik Dewan Etik MK menerima pengaduan melalui dua pintu. Pertama, berdasarkan berita media massa terkait perilaku Hakim Konstitusi. Kedua, berdasarkan laporan, ada orang yang melapor ke Dewan Etik MK bahwa Hakim Konstitusi diduga melakukan pelanggaran etik.
“Kalau kita cermati pengaduan dari masyarakat pada 2020, lebih kepada orang yang tidak puas dengan Putusan MK. Jadi bukan perilaku Hakim Konstitusi yang diduga melanggar kode etik, tetapi lebih kepada kekecewaan. Terutama para pihak yang berperkara di MK,” jelas Fajar.
Saat ini, kata Fajar, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020, Mahkamah Konstitusi sedang mengalami transisi dan sedang mempersiapkan beberapa agenda antara lain mengenai pengaturan MKMK.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.