JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi narasumber Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXVIII Tahun 2021. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Diklat Kejaksaan RI, pada Selasa (7/12/2021) secara daring.
Dalam paparannya, Daniel mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) lahir di era reformasi setelah amendemen UUD 1945. Keberadaan MK dijelaskan dalam dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Selain itu, sambung Daniel, dalam Pasal 2 UU MK, dijelaskan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selanjutnya Daniel menyebutkan empat kewenangan MK dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dan satu kewajiban MK dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945. Daniel juga menyinggung kewenangan MK dalam perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Hukum Acara MK
Berbicara mengenai hukum acara MK, Daniel menyebutkan terdapat beberapa ketentuan yang harus dipahami para pihak dengan saksama. Di antaranya, dalam pemberian kuasa untuk beracara di MK. Pemohon dapat diwakili oleh kuasa hukum. Kuasa hukum yang beracara tersebut pun tidak harus advokat.
Selanjutnya Daniel menerangkan mengenai syarat adanya kerugian konstitusional, yaitu adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan UUD 1945. Kerugian yang dimaksudkan tersebut dapat bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi; adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya; dan adanya kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak lagi terjadi.
Pengajuan perkara ke MK disebut “permohonan” dan bukan “gugatan”. Mengenai hal ini, Daniel mengatakan dalam perkara pengujian UU di MK pada hakikatnya hanya ada satu pihak dalam pengajuan perkaranya. Dalam perkara pengujian UU di MK, Presiden, Pemerintah, dan DPR bukan pihak yang berlawanan, tetapi hanya bertindak sebagai pemberi keterangan.
Pada kesempatan ini, Daniel juga menjelaskan rangkaian persidangan yang harus dilalui oleh para pihak, mulai dari sidang pendahuluan sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Pasal 40 dan 41 UU MK. Kemudian menjelaskan mengenai putusan MK.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.