JAKARTA, HUMAS MKRI – Salah satu pertimbangan dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) adalah untuk mengoreksi produk-produk hukum yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR dalam pembuatan undang-undang (UU). Demikian disampaikan Wakil Ketua MK Aswanto saat menyampaikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi” dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) bagi Fakutas Hukum Universitas Sawerigading Makassar pada Minggu (5/12/2021) secara virtual.
“Pertimbangan lain, siapa yang berwenang membubarkan parpol. Itu fungsi Mahkamah Konstitusi. Bahkan lebih dari itu, sebenarnya kalau kita lihat fungsi paling strategis yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara dalam konstitusi,” terang Aswanto.
Fungsi MK
Aswanto lebih lanjut mengatakan MK sering disebut sebagai The Guardian of Contitution, pengawal konstitusi. Bahkan MK juga mempunyai fungsi sebagai The Protection of Human Rights, pelindung hak-hak asasi manusia. Termasuk juga sebagai The Protection of Democracy. Selain itu, MK berfungsi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi.
Dijelaskan Aswanto, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dibentuk pada 2003 sabagai salah satu tuntutan reformasi. Itulah sebabnya MK kerapkali disebut sebagai “anak kandung reformasi”. Ada beberapa lembaga negara yang dibentuk pasca reformasi, antara lain MK, Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dasar Hukum Pembentukan MK
Aswanto menerangkan, Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 sebelum amendemen menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”. Sedangkan ayat (2), “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”.
Setelah dilakukan amendemen, Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan ayat (2), “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
“Inilah dasar hukum pembentukan Mahkamah Konstitusi. Jadi, politik hukum kita, awalnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah lembaga saja yakni Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Tetapi setelah amendemen UUD 1945, muncul lagi sebuah lembaga yang diberi kewenangan untuk menegakkan hukum,” urai Aswanto.
Kewenangan dan Kewajiban MK
Bicara kewenangan MK, ungkap Aswanto, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Landasan hukum adanya kewenangan MK adalah UUD 1945, UU MK dan UU Kekuasaan Kehakiman. Lalu Aswanto menyebutkan empat kewenangan dan satu kewajiban MK.
“Pertama, MK menguji undang-undang terhadap UUD, mulai dari pasal, ayat dan lainnya dari norma sebuah undang-undang. Karena banyak undang-undang yang kalau kita cermati substansinya, banyak yang mengabaikan hak-hak konstitusional warga negara. Itulah sebabnya perlu adanya MK. Mahkamah dapat melakukan koreksi kalau ada hak-hak konstitusional warga negara yang diabaikan,” jelas Aswanto.
Kewenangan kedua MK adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara. Namun demikian, kata Aswanto, lembaga yang dapat mengajukan permohonan sengketa kewenangan ini adalah lembaga yang tugas dan kewajibannya merupakan atribusi dari konstitusi. Artinya, tugas dan kewenangannya sudah ditentukan dalam UUD. Karena banyak lembaga negara yang tugas dan kewenangannya tidak bersumber dari UUD, salah satu contoh adalah KPK.
Berikutnya, MK berwenang untuk membubarkan partai politik yang asasnya tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, MK berwenang memutus perselisihan hasil pemilu, baik pemilu presiden dan pemilu legislatif. Bagi pasangan calon dalam pemilu yang merasa dirugikan dengan keputusan KPU terhadap hasil pemilu, maka persoalan tersebut bisa diadili, diperiksa dan diputus oleh MK. Sedangkan kewajiban MK, ungkap Aswanto, memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum atau perbuatan tercela menurut UUD.
Aswanto melanjutkan, sebelumnya UU yang dapat diuji di MK adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945, sesuai ketentuan dalam Pasal 50 UU No. 24/2003. Namun dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, MK menyatakan Pasal 50 UU No. 24/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK No. 066/PUU-II/2004 yakni pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin. Dengan demikian MK berwenang menguji semua UU yang telah disahkan. Selain itu, berdasarkan Putusan No. 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Sistematika Permohonan
Mengenai pengajuan permohonan, Aswanto menerangkan, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Berikutnya, Aswanto menerangkan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Jaksa pengacara negara dapat menjadi kuasa dalam persidangan di MK.
Selanjutnya mengenai sistematika permohonan. Permohonan terdiri atas identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Aswanto juga menerangkan sejumlah alasan Pemohon mengujikan UU ke MK, antara lain karena hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya UU, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya UU.
MK juga memberikan legal standing kepada organisasi non pemerintah yang peduli terhadap isu tertentu yang berkaitan dengan berlakunya UU tertentu untuk mengajukan perkara ke MK. Pembayar pajak (tax payer) juga memiliki kewenangan mengajukan perkara di MK. Timbulnya legal standing dalam hal ini akan dilihat dari keterkaitan antara pembayaran pajak dengan ketentuan yang diuji, sesuai Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 terhadap pengujian UU Surat Utang Negara.
Putusan MK
Mengenai Putusan MK, Aswanto mengatakan bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Semua pihak harus tunduk dan melaksanakannya. Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan MK bersifat erga omnes. Norma yang telah dibatalkan oleh MK tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat meskipun norma yang sama diatur dalam UU lain yang tidak/belum dimohonkan pengujian ke MK.
Kemudian mengenai amar Putusan MK. Aswanto menjelaskan, ada putusan MK yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (NO). Kemudian putusan yang menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan sebagian atau seluruhnya. Ada pula putusan yang menolak sebagian atau seluruh permohonan Pemohon. Amar putusan ada pula yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.