PEMATANG SIANTAR, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi pemateri dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-4 Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar, Sumatera Utara pada Sabtu (4/12/2021). Dalam kuliah yang dilaksanakan secara luring dengan penerapan protokol kesehatan ini, Daniel membicarakan soal “Perpu dan Covid”.
Terkait topik ini, Daniel menyebutkan Perpu yang kemudian menjadi undang-undang darurat merupakan suatu norma yang dibuat sepihak oleh presiden. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tentang hal ikhwal kegentingan yang memaksa penerbitan Perpu. Kewenangan demikian diberikan pada presiden untuk menetapkan Perpu, yang prosesnya tidak seperti membuat undang-undang. Hal terpenting dalam penetapan ini, sambungnya, adalah hal genting dan memaksa serta bersifat menetapkan.
“Jadi Perpu itu tidak dibuat, tetapi ditetapkan. Ada empat syarat komulatif bukan alternatif bahwa sebuah keadaan darurat adalah ada kepentingan tertinggi negara; peraturannya bersifat mutlak; peraturan itu bersifat sementara sehingga tidak bisa berlaku seterusnya. Jadi UU darurat sifatnya sementara demikian juga Perpu, dalam praktik jika perpu disetujui DPR maka dapat saja menjadi undang-undang. Syarat terakhir adalah ketika peraturan darurat itu dibuat, DPR tidak dapat mengadakan sidang karena keadaan darurat atau reses,” jelas Daniel dalam membuka materi kuliah umum.
Lebih jelas terkait dengan Perpu ini, Daniel mengutip beberapa pendapat ahli seperti pendapat Jimly Asshiddiqie, Maria Farida Indrati, dan Bagir Manan serta Putusan MK yang merumuskan pengertian kegentingan memaksa. Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, Perpu diperlukan apabila adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sehubungan dengan pandemi yang saat ini masih berlangsung dan dikeluarkannya Perpu Covid-19 pada beberapa waktu lalu, kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabillitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Maka, kata Daniel, sejatinya hal seperti ini telah ada sejak 1946 dari masa Presiden Soekarno hingga pada masa sekarang ini. Dan ketentuan seperti ini juga telah dilakukan oleh banyak negara, seperti Georgia, Barbados, Ceko, Mongolia, Turki. Dalam konstitusi negara-negara tersebut, Perpu adalah sebuah dekrit yang memiliki kekuatan seperti undang-undang.
Berkaitan dengan Perpu ini, di Indonesia pun telah dilakukan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi pada beberapa waktu lalu. Dalam Amar Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan mengabulkan permohonan pengujian materil untuk sebagian. MK menyatakan bahwa frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. MK juga menyatatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Serta Mahkamah juga menyatakan Pasal 29 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P