JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber pada
kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Kegiatan ini diselenggarakan
oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bekerjasama dengan Universitas
Pamulang. Dalam kegiatan ini, Suhartoyo memaparkan materi bertajuk “Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi” di hadapan para peserta PKPA secara daring.
Suhartoyo menyebutkan kewenangan MK berawal dari amanat Pasal 24C Ayat (1) dan
Ayat (2) UUD 1945 yang didelegasikan pada UU 24/2003 Pasal 10 dan UU 48/2009
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). Melalui norma ini termuat kewenangan MK, yakni
menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga
negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.
Selain itu, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Kemudian Suhartoyo menerangkan tentang pengujian undang-undang (PUU) terhadap
UUD 1945. Warga Negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya sebuah undang-undang kemudian mengajukan permohonan PUU ke MK
hendaknya terlebih dahulu menguasai hukum acara MK dalam perkara PUU.
“Pada kewenangan PUU ini, sifat persidangan perkaranya lebih bernuansa tak adanya
kepentingan secara langsung. Sebab, di dalamnya ada Pemohon tetapi tak ada
Termohon,” jelas Suhartoyo.
Sementara itu, terkait dengan kewenangan MK dalam memutus sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan hasil pemilu, sambung Suhartoyo, terdapat pihak-pihak yang
berkepentingan di dalam perkara tersebut. Di dalam persidangan ini, banyak sekali
perdebatan yang dikemukakan para para pihak yang bersengketa.
Karakter Khusus PUU
Secara lebih mendalam, Suhartoyo membahas tentang karakteristik khusus dari sidang
PUU yang dilakukan MK. Menurut Suhartoyo, kewenangan MK sendiri terdapat
perbedaan hukum acaranya. Ketika MK menguji UU terhadap UUD yang kemudian
dikenal dengan sebutan judicial review yang sifat perkaranya, yakni tidak ada sengketa
kepentingan para pihak.
“Ketika MK menjalankan fungsi menguji UU terhadap UUD, itu konten perkaranya
bukan sengketa kepentingan para pihak. Tetapi kemasannya permohonan. Berbeda
dengan hukum acara ketika MK menjalankan kewenangannya yang lain,” jelas
Suhartoyo.
Suhartoyo juga mengatakan, kehadiran Presiden dan DPR serta pihak-pihak lembaga negara pada persidangan PUU adalah untuk menberikan keterangan pada MK. Sehingga, mereka tidak diposisikan sebagai Termohon.
Dalam menjalankan kewenangan dalam menguji UU terhadap UUD, Suhartoyo
menjelaskan bahwa terdapat dua pengujian baik formil dan atau materiil. Pengujian
formil adalah pengujian berkaitan dengan proses pembentukan. “Jadi, formalitas dari
terbitnya UU itu sendiri yang tidak memiliki persyaratan formil,” jelas Suhartoyo.
Sedangkan pengujian materiil, pengujian yang berkaitan dengan substansi dari UU itu
berupa pasal, ayat atau bagian dari keduanya. Terhadap pengujian formil, lanjut
Suhartoyo, jika permohonan dikabulkan maka UU tersebut tidak berlaku karena tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari