JAKARTA, HUMAS MKRI - Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana tercantum dalam Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengakibatkan tidak adanya mekanisme koreksi terhadap putusan DKPP secara langsung oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Padahal mekanisme koreksi atas suatu putusan dalam kepemiluan sangat penting dilakukan. Mengingat selalu ada kemungkinan terjadinya kekeliruan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam substansi putusannya sendiri.
Demikian keterangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso dalam sidang kelima uji materiil UU Pemilu. Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (30/11/2021) dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. Sebelumnya, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam UU Pemilu. Keduanya mendalilkan Pasal 458 ayat (13) dan pengujian terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11), ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu.
Baca juga: Anggota KPU Persoalkan Konstitusionalitas Sifat Final dan Mengikat Putusan DKPP
Dalam keterangannya, Topo mengatakan dalam konteks substansi bisa terjadi kekeliruan pemahaman anggota DKPP. Menurutnya, DKPP bukanlah penafsiran atas substansi UU Pemilu. “Namun, suatu ketika bisa terjadi anggota DKPP menafsirkan dan bisa saja terjadi kekeliruan,” sambung Topo dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Topo melanjutkan sifat final dan mengikat dari putusan suatu lembaga mempersyaratkan juga keanggotaan lembaga yang memiliki putusan harus kredibel dan memiliki kapasitas. Selain itu, lanjutnya, sifat final dan mengikat putusan memang dibutuhkan karena suatu masalah penyelesaiannya berada di jalur cepat atau fast track model seperti penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
“Putusan menyangkut pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak memerlukan penyelesaian di jalur cepat, seperti sengketa tahapan atau proses, misalnya calon calon peserta pemilu atau calon presiden atau calon anggota DPR atau DPRD yang dianggap tidak memenuhi syarat. Bahkan yang terakhir ini pun, masih ada mekanisme koreksinya di PTUN. Jadi, kalau ada kesalahan dari Bawaslu masih bisa dikoreksi. Penyelesaian arus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu tidak berada di jalur cepat, sehingga kebutuhan atas putusan yang final dan mengikat tidak diperlukan,” papar Topo.
Baca juga: Pemerintah: Sifat Putusan Final dan Mengikat DKPP Berbeda dengan Lembaga Peradilan
Menghormati Putusan PTUN
Lebih lanjut Topo mengatakan, Putusan DKPP bersifat final dan mengikat yang tidak dibatasi pengertiannya, mengakibatkan bahwa putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan tindak lanjut gugatan putusan DKPP, tidak dipatuhi oleh DKPP. Kekeliruan pemahaman DKPP atas eksistensi, sifat, dan fungsi dari putusan PTUN ini bisa sangat merugikan anggota KPU dan juga Bawaslu. Hal tersebut karena DKPP tidak menganggap bahwa putusan lembaga peradilan seperti PTUN ada dan berlaku.
“Dalam sistem hukum kita dan juga negara lain, putusan peradilan itu harus dihormati dan dilaksanakan, kecuali jika memang masih bisa disanggah. Selanjutnya, lembaga lainnya yang bertanggung jawab menindaklanjuti keputusan DKPP tersebut misalnya presiden, dalam konteks pemberhentian anggota KPU dan bawaslu maka jika PTUN mengadili sengketa TUN atas keluarnya putusan presiden itu maka DKPP sudah tidak ada kewenangan lagi atas hal itu. DKPP mesti menghormati putusan PTUN atau putusan peradilan lainnya jika ada melibatkan lembaga lain,” terang Topo.
Baca juga: Ahli: DKPP Merupakan Pengawas Penyelenggara Pemilu, Bukan Lembaga Peradilan
Kembali Jadi Panitia Ad Hoc
Dalam kesempatan itu, Topo mmberikan rekomendasi agar DKPP perlu dikembalikan menjadi panitia ad hoc. Ia berpendapat jika DKPP tetap badan permanen, maka perlu penataan ulang terhadap yang tugas utama untuk memproses dan memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, yakni KPU dan Bawaslu. Ia pun menyarankan panitia ad hoc tersebut terdiri atas tokoh masyarakat, akademisi, dan mantan penyelenggara pemilu. Panitia tersebut, lanjutnya, dibentuk hanya jika ada terjadi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang diajukan oleh pihak‑pihak yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik. “Panitia ad hoc penyelesaian pelanggaran kode etik ini tugasnya hanya memproses dan memberikan rekomendasi penjatuhan sanksi dugaan terjadinya pelanggaran kode etik menjelang pemilu, tidak melaksanakan tugas lainnya,” urai Topo.
Di akhir keterangannya, Topo menilai jika DKPP mengeluarkan putusan terkait suatu pelanggaran kode etik, maka sebaiknya diperlukan suatu lembaga yang memiliki kewenangan untuk bisa mengoreksi putusan dari DKPP, misalnya PTUN.
“Sehingga putusan DKPP itu nantinya mungkin dalam konteks administrasi dapat dikatakan sebagai suatu keputusan TUN, sehingga bisa dikoreksi oleh lembaga peradilan. Itu adalah alternatif lain apabila pendapat-pendapat Ahli untuk melakukan penataan ulang terhadap DKPP itu tidak bisa dilaksanakan,” tandas Topo.
Dikembalikan Fungsinya
Hal senada juga disampaikan oleh Lektor Kepala Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar. Dalam keterangannya, ia mengungkapkan bahwa tepat jika DKPP dikembalikan fungsinya sebagai panitia ad hoc. “Karena ad hoc sifatnya, nanti ada kasus yang mengenai kesalahan etik yang dilakukan oleh KPU daerah dan Bawaslu daerah, maka kemudian itu sangat mungkin diselesaikan begitu saja oleh KPU sebagai lembaga induknya,” ujarnya.
Zainal pun mengungkapkan alangkah baiknya jika dibentuk sebuah Lembaga peradilan etik untuk semua pejabat negara. “Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Jimly bahwa ke depan mungkin bisa dipikirkan ya, membentuk satu peradilan etik ya, sebagai perkembangan court law of ethic dan court of justice adalah kebutuhan dalam sebuah konsep ketatanegaraan yang lebih baik,” tandasnya.
Dalam permohonannya, Evi yang merupakan Pemohon I pernah diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam putusan DKPP Nomor 317-PKEDKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020 dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020. Meskipun PTUN telah mengabulkan gugatan Pemohon I dalam putusan Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT pada tanggal 23 Juli 2020 dan menyatakan batal Keppres Nomor 34/P Tahun 2020 sehingga Pemohon I aktif kembali menjadi Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022, tetapi DKPP tetap tidak mengakui Pemohon I sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022.
Untuk itulah, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) UU Pemilu sepanjang frasa “putusan” sebagai conditionally constutional (konstitusional bersyarat) sepanjang dimaknai sebagai “keputusan” yang dapat diuji langsung ke peradilan Tata Usaha Negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P
Humas: M. Halim