JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah Aktivis Penegakan Hukum mengujikan Pasal 1 angka (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), Selasa (30/11/2021). Sidang pendahuluan perkara Nomor 61/PUU-XIX/2021 ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Saldi Isra selaku anggota Sidang Panel.
Welly Anggara selaku perwakilan Pemohon menyebutkan, sebanyak 13 aktivis yang menjadi Pemohon uji materi UU Kejaksaan ini berasal dari berbagai profesi seperti analis penuntutan, dosen, advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa. Para Pemohon mempersoalkan kejelasan kedudukan Kejaksaan RI secara normatif dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Secara sederhana, para Pemohon mengiginkan Kejaksaan RI memiliki independensi struktural yang kuat sehingga terhindar dari gangguan dan intervensi pihak luar.
Para Pemohon mendalilkan, penyebutan Kejaksaan sebagai “Lembaga Pemerintahan” dalam Pasal 2 ayat (1) yang disertai dengan adanya pengaturan Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan terkait mekanisme pengangkatan Jaksa Agung tanpa melalui mekanisme Fit and Proper Test Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wujud penerapan prinsip Checks and Balances tentu dalam penalaran yang wajar dapat dikatakan sangat berpotensi menimbulkan gangguan terhadap independensi struktural Kejaksaan RI sebagaimana fungsi utamanya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman atau proses penegakan hukum, yaitu penuntutan. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip independensi Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang mana Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Menurut para Pemohon, pengaturan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan dapat membuka ruang kesempatan kepada Presiden sebagai organ politik baik demi kepentingan pribadi maupun golongan tertentu melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan fungsi penegakan hukum Kejaksaan RI. Sebab berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Jaksa Agung secara sepihak oleh Presiden tanpa persetujuan terlebih dahulu dari DPR.
“Sehingga kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan fungsi kekuasaan kehakiman dalam kerangka konseptual penegakan hukum, tentu idealnya harus independen, baik secara personal maupun struktural. Namun penyebutan kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan menimbulkan ambiguitas pemaknaan,” sampai Welly dalam sidang yang digelar secara daring dan diikuti para pihak dari kediaman masing-masing.
Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan beberapa poin perbaikan yang diperlukan untuk kesempurnaan permohonan para Pemohon. Misalnya mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara ini. Dalam permohonan ini, sambung Wahiduddin, belum termuat uraian yang teperinci kewenangan Mahkamah. Selanjutnya, Wahiduddin meminta para Pemohon mempertegas kedudukan hukum masing-masing, dan mempertegas kriteria kerugian konstitusional yang dialami.
“Ini bisa saja dibuatkan klaster para Pemohonnya sehingga tidak perlu dijelaskan satu per satu. Misal, siapa yang dimaksud perseorangan itu, lalu kriterianya sama. Dengan demikian, gambaran para Pemohon dan hak-hak konstitusional yang terlanggar atas keberlakuan norma ini terlihat dengan jelas,” sampai Wahiduddin.
Hakim Konstitusi Saldi juga menyoroti perlunya bagi para Pemohon untuk membuat kategori spesifik dari ke-13 Pemohon untuk menjabarkan kerugian hak konstitusional. Misalnya, jika permohonan dikabulkan pada jaksa agung adalah orang yang telah menjalani pendidikan kejaksaan, kemudian pihak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan kejaksaaan akan mengalami kerugian karena tidak diperkenankan menjadi jaksa. Oleh karena itu, para Pemohon harus memikirkan permintaan yang diajukan ke Mahkamah sebab profesi yang mengajukan permohonan pun beragam yang berpotensi pula untuk menempuh karir dalam bidang kejaksaan.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan para Pemohon perlu memperbaiki keterkaitan konstitusional dengan berlakuknya UU Kejaksaan. “Beri argumen pada Mahkamah atas keterkaitan hak konstitusionalnya. Sehingga benar-benar terlihat kerugian dari berbagai profesi Pemohon atas keberlakukan norma ini,” sampai Suhartoyo.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.