JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi keynote speaker Webinar “Quo Vadis Amendemen V UUD 1945: Pro-Kontra Wacana Revitalisasi PPHN dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” pada Selasa (30/11/2021) siang secara daring dari Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di awal webinar, Wahiduddin menjelaskan mengenai konstitusi di beberapa negara. Misalnya dalam konstitusi Irlandia dan konstitusi di banyak negara Afrika, ada istilah directive principles, fundamental principles, atau cukup disebut dengan principles, yang biasanya frasa itu diikuti dengan kata-kata ‘state policy’ atau ‘social policy’.
“Secara umum konstitusi di negara-negara tersebut mengatur mengenai prinsip-prinsip dalam kebijakan yang akan diambil oleh negara. Directive principles dapat diterjemahkan sebagai asas-asas yang berisi arahan atau haluan. Sementara itu, jika directive principles digabungkan dengan kata state policy, terjemahan bebasnya dapat diartikan sebagai haluan negara,” jelas Wahiduddin.
Namun apakah directive principles sama dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah berlaku di Indonesia? Jawabannya, kata Wahiduddin, bila melihat mekanisme penyusunannya tidak persis sama seperti itu. Sebab directive principles telah termaktub dan dijabarkan dalam norma-norma konstitusi. Sementara GBHN merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan MPR menetapkan UUD dan GBHN, namun sekarang tidak ada lagi. Sistem politik dan ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan memungkinkan pemberian kewenangan kepada MPR untuk memberi mandat berupa GBHN kepada lembaga-lembaga negara. Sebab UUD 1945 sebelum perubahan, mengkonstruksikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan Presiden sebagai mandataris MPR,” papar Wahiduddin.
Perubahan Signifikan
Wahiduddin melanjutkan, amendemen UUD 1945 pada 1999-2002 membawa perubahan signifikan pada sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem pemerintahan dan hubungan antara lembaga negara menitikberatkan pada mekanisme checks and balances. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Tafsir atas ketentuan konstitusional ini salah satunya adalah tiada satu pun orang maupun lembaga yang lebih tinggi kedudukannya dari konstitusi.
“Konstitusi adalah hukum tertinggi dan semua tunduk pada aturan main yang dimuat dalam konstitusi. UUD 1945 adalah jenis hierarki tertinggi dari sistem perundang-undangan kita,” ucap Wahiduddin.
Bisa Disetarakan
Dalam pandangan Wahiduddin, UUD 1945 juga telah memuat haluan negara atau bisa disetarakan dengan directive principles, meskipun komposisi dan muatannya tidak tersusun dalam sebuah bagian khusus, melainkan tersebar dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
“Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 secara jelas menyebutkan tugas-tugas pemerintah negara Republik Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” urai Wahiduddin.
Dalam level abstraksinya, sambung Wahiduddin, pengaturan demikian sangatlah umum dan membutuhkan penafsiran atau penjabarannya. Namun dilihat dari kajian-kajian akademik yang meneliti mengenai tugas dan fungsi pembukaan dalam berbagai konstitusi di dunia, maka salah satu yang biasa dimuat dalam pembukaan konstitusi adalah pernyataan mengenai tujuan bernegara. Fungsi ini sering muncul di negara-negara yang tipologi civil law.
Sedangkan pada bagian Batang Tubuh UUD 1945, ungkap Wahiduddin, dapat ditemukan pengaturan yang bersifat “haluan negara”. Sebagai contoh, pengaturan mengenai jaminan hak konstitusional sepenuhnya yang berisi arah tujuan dalam membuat kebijakan negara. Di antaranya, hak atas pendidikan merupakan haluan negara yang lingkupnya sangat komplet dalam penjabarannya. Negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.