JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (29/11/2021). Agenda sidang Perkara Nomor 20/PUU-XIX/2021 kali ini adalah mendengarkan keterangan Ahli dari Pemerintah, yaitu Djoko Santoso dan Radian Salman.
Guru Besar Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung (ITB), Djoko Santoso menjelaskan materi “Kegurubesaran dan Kegurubesaran di Indonesia”. Djoko memulai paparan dengan menerangkan pengertian tentang dosen dan profesor. Istilah dosen dalam Cambridge Dictionary artinya pemandu. Di beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Eropa, dosen adalah seorang pengajar berpangkat lebih rendah dari profesor. Sedangkan profesor adalah peringkat akademik yang tertinggi di suatu institusi pendidikan tinggi.
“Seorang pengajar/pendidik berpangkat tertinggi di perguruan tinggi di Amerika ataupun di Inggris itulah yang disebut profesor,” terang Djoko.
Profesor Nasional
Djoko melanjutkan, beberapa universitas mengatakan bahwa profesor kepemimpinan akademik misalnya, dia senantiasa mengarah pada keunggulan dalam riset, pengajaran, kegiatan profesional dan pengembangan kebijakan di berbagai tingkatan dalam disiplin akademik, unit akademik, institusi, dan masyarakat yang lebih luas. penunjukan profesor menggambarkan seorang instruktur dengan masa kerja bertahun-tahun sehingga pengakuannya meliputi kualitas pengajaran, pengabdian masyarakat dan daftar karya ilmiah yang diterbitkan.
Di akhir paparan sebagai ahli, Djoko mengatakan, dalam sistem yang berlaku hingga sekarang, negara telah memberikan penghargaan yang sangat luar biasa bagi dosen, khususnya profesor atau guru besar. Karena yang bersangkutan diangkat oleh negara, maka keprofesorannya secara langsung diakui oleh semua perguruan tinggi di Indonesia.
“Jika profesor diangkat oleh perguruan tinggi, maka sebenarnya bisa saja perguruan tinggi lain tidak mengakui keprofesorannya karena yang bersangkutan memang diangkat untuk kepentingan universitas tersebut saja,” terangnya.
Djoko menegaskan, profesor nasional atau negara diangkat untuk kepentingan negara. Jadi, misi dan visi sektor pendidikan, khususnya pendidikan tinggi dengan kriteria dari negara atau pemerintah. Sedangkan profesor perguruan tinggi diangkat untuk kepentingan perguruan tinggi sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi.
“Pengaturan yang telah ada berlaku di Indonesia ini kita bisa simpulkan sangat menghargai dosen dan profesor dan menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan dosen, kepentingan institusi, dan kepentingan nasional,” pungkasnya.
Jadi, demikianlah yang saya ingin sampaikan. Ini sekadar anu … ilustrasi saja. Gajinya berapa, tho, profesor di kita? Lumayan juga. Misalnya, kita bandingkan dengan Meksiko, kita tidak kalah kok, dengan Philipina juga tidak kalah, dengan Thailand juga masih kirakira 2 kalinya. Ya, jangan dibandingkan dengan Australia ataupun Amerika Serikat, itu sesuatu hal yang lain.
Penafsiran Statutory
Radian Salman dalam kapasitasnya sebagai Ahli Pemerintah menyatakan bahwa makna Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen itu bisa dipahami dari sudut pandang penafsiran statutory. Salah satu penafsiran statutory yang bisa dirujuk yang asal muasalnya dari penafsiran konstitusi itu adalah originalism dalam pendekatan tekstual dan originalism dalam pendekatan original intent.
“Kalau dalam konteks originalism dengan pendekatan tekstual, saya ingin mengatakan bahwa Pasal 50 ayat (4) itu tidak lain dimaknai kecuali yang pertama, jenjang jabatan akademik tertentu itu ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi, garis tebalnya adalah tertentu. Yang kedua, jenjang jabatan akademik tertentu yang merupakan wewenang satuan pendidikan tinggi itu dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Makna originalism tekstual itu adalah makna yang sebenarnya tidak perlu mencari tahu apa di balik maksud dari rumusan pasal ini. Karena dari bunyinya saja, teksnya saja sudah bisa dipahami hal seperti itu,” papar Radian.
Selanjutnya Radian membahas isu kesesuain konsekuensi penggunaan frasa dengan peraturan perundang-undangan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai klausul deferral. Yang pertama adalah konsekuensinya diminta untuk merujuk pada peraturan perundang-undangan lain, baik dalam pengaturan maupun dalam pelaksanaan. Dalam konteks pengaturan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan itu sebenarnya boleh dibilang berkarakter bukan pelimpahan pengaturan eksplisit dan tegas. Jadi, ini bukan pelimpahan secara eksplisit dan tegas, tapi sebenarnya tersembunyi atau mungkin bisa disebut sebagai shadow pelimpahan.
“Yang kedua berkaitan dengan pelaksanaan ini, itu berarti pelaksanaan atau implementasi satu hal didasarkan pada peraturan perundang-undangan, baik yang telah berlaku maupun peraturan yang akan berlaku di masa mendatang sebagai peraturan pelaksanaannya. Itu, satu sisi. Sisi yang lain, makna dari frasa ini berdampak sebagai sesuatu hal yang bersifat informatif kepada khalayak publik karena itu juga mengatur misalnya bagaimana dosen memperoleh jenjang jabatan akademik, maka khalayak umum, adressat publik sesuai keberlakuan dari peraturan perundang-undangan itu terinformasi mengenai wewenang dan proses dalam pengangkatan pada jabatan akademik,” tegas Radian.
***
Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU GD dajukan oleh Sri Mardiyati. Pemohon menguji Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen yang menyebutkan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pemohon berprofesi sebagai dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (UI). Jabatan terakhir Pemohon adalah lektor kepala. Pemohon diusulkan oleh Rektor UI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk diangkat sebagai guru besar atau profesor pada 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI, termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar di bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun usulan tersebut ditolak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan alasan, karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal pihak UI sudah menyetujui dan telah mengesahkan hasil validasi atas karya ilmiah Pemohon.
Pemohon mendalilkan, seharusnya menurut Pasal 50 ayat (4) UU GD, pengangkatan dan penetapan jenjang jabatan akademik tertentu termasuk guru besar merupakan kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor. Tetapi karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan oleh Menteri, maka kewenangan untuk mengangkat dan menetapkan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan Direktorat Pendidikan Tinggi.
Pemohon beranggapan, hal itu terjadi karena dalam Pasal 50 ayat (4) UU GD disebutkan adanya frasa bahwa pengangkatan dan penetapan guru besar ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya frasa ini telah menimbulkan multitafsir. Karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian membuat peraturan yang membuat kewenangan kepada dirinya yang bertentangan dengan substansi atau maksud dalam Pasal 50 ayat (4) tersebut.
Menurut Pemohon, dalam praktiknya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU GD diberikan makna lain dengan menggunakan Pasal 70 UU GD. Seolah-olah pengangkatan dan penetapan jenjang akademik tertentu termasuk pengangkatan guru besar merupakan kewenangan menteri dan bukan kewenangan satuan pendidikan tinggi. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.