JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) pada Senin (29/11/2021) di Ruang Sidang Panel MK. Permohonan pengujian UU Jaminan Fidusia yang teregistrasi Nomor 57/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh enam orang mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konsitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku hakim anggota. Para Pemohon menyampaikan sejumlah poin perbaikan dalam persidangan daring. Di antaranya perbaikan pada poin judul permohonan perkara. Kemudian perbaikan pada poin alasan permohonan yang menjelaskan perbedaan permohonan yang diajukan dengan permohonan terdahulu. Dalam hal ini, para Pemohon meminta agar dibuat format perjanjian jaminan fidusia terpadu.
Menanggapi perbaikan permohonan, Hakim Konstitusi Suhartoyo mempertanyakan keseriusan para Pemohon dalam mengajukan perkara ini. Suhartoyo mencermati, dari enam Pemohon, hanya tiga Pemohon yang menandatangani perbaikan permohonan.
“Hanya ada tiga orang dari Pemohon yang menandatanagi permohonan perbaikan ini. Sementara pada daftar alat bukti, keenam Pemohon menandatangani lembaran. Oleh karena itu, dengan hal ini artinya para Pemohon yang bisa mengajukan perbaikan hanya tiga orang saja,” kata Suhartoyo.
Untuk diketahui, Permohonan yang teregistrasi Nomor 57/PUU-XIX/2021 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) ini diajukan oleh enam orang mahasiswa Untirta, yaitu Muhammad Armand Prasetyanto, Mohamad Fikri Nur Yahya, Bagas Febriansyah, Geraldus Manahan, Khairul Syekhan Febriansah, dan Kharis Pranatal Sihotang.
Para Pemohon mengujikan Pasal 15 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyatakan, “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Kemudian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia menyatakan, “Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Baca juga
Mahasiswa Untirta Persoalkan Prosedur Eksekusi dalam UU Jaminan Fidusia
Untuk diketahui, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK yang digelar pada Kamis (11/11/2021), para Pemohon mempersoalkan tidak jelasnya prosedur eksekusi jaminan fidusia. Menurut para Pemohon, dalam Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan Nomor 2/PUUXIX/2021 terdapat perbedaan norma yang telah mengubah jaminan fidusia. Dalam Putusan 18/PUU-XVII/2019, MK telah memutus bahwa Pasal 15 ayat (2) dan UU Jaminan Fidusia dan Penjelasannya, bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Putusan 2/PUUXIX/2021, MK pada intinya menyatakan pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanya sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.
“Pada pandangan para Pemohon terdapat perbedaan antara kedua putusan ini sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum akan suatu regulasi yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini tentang mekanisme eksekusi jaminan fidusia,” kata salah seorang Pemohon, Bagas Febriansyah.
Para Pemohon tetap berpegang teguh bahwa eksekusi fidusia seharusnya dilakukan melalui pengadilan. Hal ini penting mengingat maraknya debt collector yang suka sewenang-wenang menarik kendaraan dari pihak debitur. Oleh karenanya, demi memberikan perlindungan hukum yang adil maka layak dan wajib eksekusi tersebut dilakukan melalui pengadilan.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.