JAKARTA, HUMAS MKRI – Karakter pengujian undang-undang bersifat volunteer, artinya dalam pengujian undang-undang terdapat Pemohon, tetapi tidak ada Termohon. Sementara pemerintah dan DPR berperan sebagai pemberi keterangan yang kepentingan langsungnya hanya untuk para hakim konstitusi. Hal tersebut disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan secara virtual pada Sabtu (27/11/2021). Kegiatan ini sebagai kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Peradi dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM).
Selanjutnya, ungkap Suhartoyo, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Suhartoyo juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
“Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK,” jelas Suhartoyo yang juga menguraikan sistematika permohonan terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara luring maupun daring.
Tahap Persidangan
Dikatakan Suhartoyo, tahap persidangan di MK dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK.
Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Dalam sidang pengujian undang-undang tidak menghadirkan pihak Termohon karena objeknya pengujian undang-undang. Berbeda dengan sidang perselisihan hasil pemilu maupun pilkada yang menghadirkan pihak Pemohon, Termohon, Bawaslu, Pihak Terkait.
Bicara Putusan MK, ujar Suhartoyo, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK. Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara bersyarat.
Pengujian Formil dan Materiil
Lebih lanjut, Suhartoyo menerangkan secara rinci seluruh kewenangan MK. Dalam pengujian undang-undang terhadap UUD terdapat dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, kerugiankonstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Kemudian ada kewenangan MK memutus sengketa konstitusional lembaga negara, adalah lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, seperti MA, MPR, DPR, BPK, DPD. Berikutnya ada kewenangan MK memutus pembubaran partai politik, Pemohonnya adalah pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden untuk itu. Termohonnya adalah parpol yang diwakili pimpinan parpol dan dapat diwakili kuasa hukumnya.
Selanjutnya ada kewenangan MK memutus Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dijelaskan Suhartoyo, para pihaknya adalah Pasangan Calon sebagai Pemohon dan KPU sebagai Termohon. Kemudian ada Pihak Terkait dan Bawaslu. Sedangkan objek permohonan perselisihan hasil pemilu adalah penetapan perolehan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang memengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta terpilihnya pasangan calon sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Berikutnya, kewenangan MK memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum atau pidana. Pihak yang menjadi Pemohon adalah DPR yang wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum, atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P